Amandemen Konstitusi Potensial Jadi ‘Bola Liar’
Berita

Amandemen Konstitusi Potensial Jadi ‘Bola Liar’

Karena bisa melebar ke hal-hal lain selain isu amandemen pokok-pokok haluan negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR. Foto: RES
Gedung MPR/DPR. Foto: RES

Keinginan sejumlah partai politik (parpol) untuk mengamandemen UUD Tahun 1945 nampaknya tak terbendung. Isu poin-poin mana saja yang bakal diamandemen pun terus mengalami perubahan, bahkan bisa melebar kemana-mana. Bahkan, ada sejumlah parpol yang belum setuju jika amandemen UUD 1945 hanya sekadar untuk menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

 

“Potensi menjadi ‘bola liar’ itu pasti ada. Namanya juga politik kalau sudah masuk di gedung kura-kura itu sudah menjadi soal politik dan itu bisa kesana-kemari,” ujar Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) di MPR, Arwani Thomafi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (19/11/2019).

 

Menurutnya, terdapat tiga isu rencana amandemen UUD Tahun 1945. Pertama, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diketahui menginginkan “mimpinya” tentang adanya penguatan kelembagaan. Kedua, terkait pokok-pokok haluan negara menjadi keinginan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan sejumlah kelompok masyarakat lainnya.

 

Ketiga, elemen masyarakat lain tentu memunculkan wacana seperti penguatan kelembagaan di bidang hukum, seperti penguatan Komisi Yudisial (KY). Bahkan, kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendorong penguatan kelembagaan KPK. Tak sedikit pihak yang mendorong pemilihan Presiden dikembalikan ke MPR.

 

Dari sekian masukan itu, direkomendasikan beberapa hal. Pertama, tentang pokok-pokok haluan negara. Kedua, penataan kewenangan MPR. Ketiga, penataan kewenangan hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara. Keempat, pelaksanaan pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945,  NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Kelima, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

 

“Yang menjadi perhatian adalah soal pokok-pokok haluan negara,” kata dia. Baca Juga: Berharap ‘Penguatan KY’ Masuk dalam Amandemen Konstitusi

 

Wakil Ketua Komisi II DPR itu menerangkan perubahan konstitusi sesuatu yang tidak mudah yang usulannnya harus dilakukan oleh sepertiga anggota MPR. Persetujuannya mesti 50 persen lebih dari jumlah anggota MPR. Menurutnya, persyaratan pengajuan amandemen konstitusi, kuncinya adalah presiden dan partai politik.  

 

Namun sepanjang tak ada kata sepakat di level partai politik dan pemerintah, maka amandemen konstitusi berjalan lamban. Apalagi hanya memiliki waktu setidaknya 2 tahun. Pasalnya, tahun ketiga pemerintahan Jokowi Jilid II sudah masuk pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak. “Kelemahan amandemen terbatas tak ada aturannya. Makanya amandemen pun dapat menyasar ke isu lain.”

 

Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Idris Laena berpendapat perlunya diatur kembali haluan negara karena menyangkut arah kebijakan Pembangunan. Namun, patut dipertanyakan pihak yang berwenang membuat pokok-pokok haluan negara. Bila sebelum reformasi MPR memiliki posisi lembaga tertinggi negara, dan Presiden diamanatkan menjalankan GBHN.

 

Dia sepakat perlunya arah kebijakan pembangunan yang bersifat permanen. Lain cerita pasca reformasi, MPR, DPR, dan Presiden serta lembaga tinggi negara posisinya sejajar. “Sehingga tidak tidak mungkin MPR membuat garis-garis besar haluan negara yang kemudian harus dilaksanakan oleh Presiden,” kata dia.

 

Tiga kelompok

Berdasarkan masukan di lapangan, terdapat tiga keinginan kelompok masyarakat terkait amandemen konstitusi ini. Pertama, adanya kehendak kembali ke UUD 1945 secara murni sesuai konstitusi sebelum amandemen. Kedua, amandemen UUD 1945 terbatas. Artinya cukup memasukan kembali pokok-pokok haluan negara. Konsekuensinya, MPR harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang berwenang mengubah UUD 1945 dimana Presiden sebagai mandataris MPR.

 

“Pertanyaannya, apa mungkin kita bisa melakukan amandemen terbatas, karena begitu semua sependapat untuk melakukan amandemen. Saya kira kita membuka kotak pandora,” kata Idris.

 

Ketiga, perlunya pokok-pokok haluan negara untuk menjadi pegangan bagi siapapun presidennya. Namun, tidak melulu harus dimasukkan dalam konstitusi. Sebab, haluan negara cukup dituangkan dalam bentuk UU. “Saya ingin mengingatkan, UUD 1945 itu kita menyebutnya hukum dasar. Kalau hukum dasar terus-menerus selalu diubah, padahal UU yang kita hasilkan bersumber dari hukum dasar. Bayangkan berapa UU yang kemudian harus menyesuaikan karena perubahan UUD 1945. Kami Fraksi Partai Golkar sikapnya kita terus mengkaji lebih jauh,” katanya.

 

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) di MPR Andi Akmal Pasludin mengatakan, partainya menyetujui rencana amandemen konstitusi dengan catatan. Pertama, amandemen dilakukan terbatas. Kedua, disetujui oleh semua partai politik. Menurutnya rencana amandemen konstitusi memang bakal menjadi “bola liar”.

 

Menurutnya, pokok-pokok haluan negara apakah dituangkan dalam bentuk Ketetapan (TAP) MPR atau UU. Bila dengan TAP MPR, maka melibatkan DPR dan DPD sebagai MPR. Kalau  melalui UU, DPR dan bersama pemerintah yan merumuskan. Dia menegaskan tak boleh serampangan mengamandemen konstitusi, perlu waktu panjang dan bulat untuk dapat mengamandemen UUD Tahun 1945.

 

“Karena akan ada banyak hal, nanti yang akan muncul bisa menjadi gaduh. Sekarang aja ada juga masukan bagaimana pasal presiden, syarat Presiden harus orang Indonesia asli yang lahir di Indonesia perlu diamandemen,” katanya.

Tags:

Berita Terkait