‘Amandemen’ Konstitusi Lewat Putusan MK dan Konvensi
Berita

‘Amandemen’ Konstitusi Lewat Putusan MK dan Konvensi

Putusan MK soal perppu bisa menjadi objek pengujian UU dan pilpres diikuti dua paslon tanpa putaran kedua, serta konvensi sidang tahunan MPR dalam rangka pidato presiden atas laporan kinerja lembaga negara.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR. Foto: RES
Gedung MPR/DPR. Foto: RES

Wacana amandemen atau perubahan kelima UUD 1945 kembali disuarakan sejumlah elit politik di Senayan. Sebelumnya, konstitusi Indonesia atau UUD 1945 mengalami amandemen sebanyak empat kali oleh MPR kurun waktu 1999-2002. Namun, dalam perkembangannya, UUD 1945 pun ternyata bisa mengalami “amandemen” melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) dan praktik ketatanegaraan atau lazim disebut konvensi.   

 

Pandangan itu disampaikan Direktur Pusat Kajian Pancasilan dan Konstitusi Universitas Jember Bayu Dwi Anggono saat dihubungi Hukumonline. Dia berpendapat pasca amandemen UUD 1945 keempat kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 sebenarnya juga mengalami tiga kali “amandemen” melalui prosedur nonformal. Berpijak pada teori K.C Wheare, dia menjelaskan perubahan UUD 1945 tidak harus melalui prosedur formal di lembaga MPR.

 

“Tetapi, amandemen bisa juga dilakukan melalui penafsiran MK melalui judicial interpretation-nya dan kebiasaan konvensi ketatanegaraan. Jadi, jangan kita antipati pada kelompok yang menginginkan adanya perubahan UUD 1945,” kata Bayu kepada Hukumonline, Rabu (21/8/2019). Baca Juga: Syarat Pemenang Pilpres 2019, Ingat Putusan MK Ini!

 

Ia mengutip teori K.C Wheare ini yang menentukan perubahan konstitusi melalui empat metode yakni some primary force, formal amandement, judicial interpretation, usage and convention. “Saat ini, UUD 1945 juga telah diubah berdasarkan judicial interpretation dan usage and convention,” tegasnya.

 

Dia menerangkan ada tiga amandemen/perubahan UUD 1945 di luar prosedur formal yang selama ini dilakukan MPR. Pertama, melalui Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menyatakan MK berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) terhadap UUD 1945. Padahal sesuai original intent dan bunyi Pasal 24C UUD 1945, disebutkan MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945 dan tidak pernah memberi kewenangan kepada MK untuk menguji Perppu.

 

“Tapi, setelah putusan MK tersebut sampai saat ini, MK telah berkali-kali menguji Perppu terhadap UUD 1945," ujarnya.

 

Kedua, melalui Putusan MK No 50/PUU-XII/2014 tanggal 3 Juli 2014, MK menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam amar putusannya, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon.

 

Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak seperti dimaksud Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan putaran kedua. Dengan demikian, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan syarat pemenang pasangan capres terpilih memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1⁄2 jumlah provinsi di Indonesia tidak berlaku. 

 

“Dengan adanya putusan MK terkait pengujian UU Pilpres itu, MK melakukan interpretasi konstitusi bahwa pilpres putaran kedua tidak bisa dilakukan jika hanya diikuti dua pasangan calon. Itu artinya, sama saja MK mengubah UUD 1945 karena materi (Pasal 159) UU Pilpres sama dengan yang ada dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Harusnya kan MK tidak boleh begitu. Tapi inilah yang dinamakan perubahan UUD 1945 karena interpretasi,” terangnya.

 

Ketiga, amandemen UUD 1945 karena konvensi ketatanegaraan dalam hal penyampaian pidato presiden mengenai kinerja lembaga-lembaga negara di hadapan MPR pada setiap tanggal 16 Agustus. Praktik ini dilakukan sejak tahun 2015 hingga saat ini, telah ada sidang tahunan MPR dalam rangka pidato presiden menyampaikan laporan kinerja lembaga negara. Padahal, aturan ini tidak ada dalam UUD 1945.  

 

“Pada dasarnya UUD 1945 setelah reformasi telah mengalami perubahan beberapa kali melalui penafsiran hakim (MK) dan konvensi ketatanegaraan, maka hadirnya gagasan amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) adalah hal biasa dalam praktik ketatanegaraan,” kata dia.

 

Hanya saja, kata dia, tinggal bagaimana usulan amandemen tersebut oleh kelompok pengusul melakukan proses dialogis dengan berbagai pihak sebelum rencana perubahan UUD 1945 ini benar-benar dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas dan prinsip partisipasi dalam proses perubahan konstitusi.

 

“Jadi, jika MPR mau mengusulkan perubahan UUD 1945, ya silakan saja! Tidak usah antipati. Toh, lembaga di luar MPR pun (tanpa disadari) sudah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Soal nanti amandemennya bermasalah atau tidak, tinggal kita lihat saja pembahasannya di parlemen,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait