Amandemen Konstitusi Buka Ruang Partisipasi Publik
Berita

Amandemen Konstitusi Buka Ruang Partisipasi Publik

Amandemen UUD 1945 diklaim tidak akan mengamandemen sistem pilpres dan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit

 

Namun, khusus amandemen konstitusi dengan memasukan kembali GBHN menuai polemik (pro dan kontra) dari sejumlah kalangan. Dosen STHI Jentera Bivitri Susanti, misalnya, menilai tidak ada urgensinya mengamandemen konstitusi jika tujuannya hanya memberlakukan kembali GBHN dan memperkuat MPR.

 

Sementara Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari menilai rencana amandemen UUD 1945 untuk memberlakukan kembali GBHN itu tidak sejalan dengan komitmen bernegara, antara lain membangun sistem pemerintahan presidensial yang kuat. Feri melihat ada keinginan pemimpin partai politik untuk memiliki kekuasaan di MPR guna “mengendalikan Presiden” melalui GBHN.

 

“Jika GBHN berlaku, maka presiden akan dikoreksi oleh MPR, apakah menjalankan GBHN atau tidak? Kemudian presiden juga dikoreksi oleh DPR, apakah telah menjalankan UU atau tidak?”  Hal lain yang dikhawatirkan Feri, amandemen ini akan menyasar isu lain, seperti mengembalikan fungsi MPR memilih presiden. Nantinya, ruang gerak presiden kembali dibatasi jika posisinya sebagai mandataris MPR.

 

Sebaliknya, Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus secara pribadi mendukung agar MPR kembali diberi kewenangan menetapkan GBHN sebagai panduan, pedoman, arah penuntun dalam pembangunan nasional. Dia beralasan kewenangan menetapkan GBHN karena ada ketidaksinkronan antara perencanaan dan penganggaran keuangan pembangunan, serta ketidakselarasan pembangunan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah.

 

Hal ini merujuk hasil riset mendalam kurun waktu 2004-2007 terkait efektivitas UU Nomor 24 tahun 2004 tentang SPPN dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang perlu dievaluasi pelaksanaannya. Menurutnya, penerapan mekanisme yang serupa dengan GBHN tidak tergantung pada sistem pemerintahan yang dianut sebuah negara, apakah itu menganut sistem parlementer atau presidensial. Sebab, praktik penerapan sejenis GBHN ini ternyata dijumpai di banyak negara dengan menganut kedua sistem dimaksud.

 

Seperti di Irlandia, dimana negara tersebut menganut sistem pemerintah parlementer menerapkan Haluan Negara yang disebutkan secara tegas dalam Pasal 45 Konstitusi Irlandia 2015 berjudul Directive Prinsicples of Social Policy. Kemudian India, negara dengan sistem pemerintahan parlementer juga menerapkan Haluan Negara dalam konstitusinya seperti disebutkan secara tegas dalam Bab IV Konstitusi India dengan judul Directive Prinsiples of State Policy. (ANT)

Tags:

Berita Terkait