Alternatif Meminimalisir Vexatious Litigation
Oleh: Ahmad Rosadi Harahap *)

Alternatif Meminimalisir Vexatious Litigation

Harus diakui perkembangan litigasi di Indonesia saat ini semakin marak dengan aneka dasar gugatan, baik yang diajukan dengan dasar itikad baik (legitimate) maupun tidak (illegitimate).

Bacaan 2 Menit

 

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa saran untuk mengintrodusir suatu aturan hukum pengenaan sanksi terhadap praktik-praktik vexatious litigation hanyalah suatu vexatious mitigation, solusi hukum yang mengada-ada, dan justru sangat potensial merusak tatanan lembaga hukum itu sendiri (sifat pasif hakim perdata).

 

Asas-Asas Hukum Acara Perdata

Era reformasi penuh tantangan transisional (transitional justice) seperti sekarang seringkali membuat kita terjebak untuk menyelesaikan suatu masalah dengan solusi yang tak kalah bermasalahnya (cf. Neil Kritz (ed.), Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Jilid I–III, Institute of Peace Press, Washington D.C., 1995). Oleh karena itu, ada baiknya kita sampaikan kembali hakikat gugatan perkara perdata itu sendiri serta peran-peran para aktor terkait di dalamnya.

 

Hukum acara perdata adalah pelaksanaan penegakan perdata materil lewat kekuasaan hakim. Tujuannya agar justiciabelen yang merasa dirugikan hak dan kepentingannya tidak main hakim sendiri (lihat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Cetakan Pertama, Penerbit LIBERTY, Yogyakarta, 1993, hal. 2 dan 4). Dengan demikian dapat diketahui bahwa reason d'etre peradilan adalah menghapuskan lembaga main hakim sendiri (eigenrichting) dalam transaksi sosial peradaban manusia modern dalam bingkai negara hukum.

 

Pada konteks negara hukum, negara pun dapat digugat ketika tindakan hukumnya merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan konstruksi kontrak sosial J.J.Rosseau lewat tulisannya Du Contrat Social: Ou Principles du Droit Politique (1762). Sesuai asas pacta sunt servanda, negara sudah selayaknya terikat secara kontraktual (konstitusional) dengan perjanjian yang dibuat di antara dan dengan warganegaranya.

 

Seiring perkembangan peradaban, etatisme negara semakin mengarah pada proses privatisasi negara yang sedemikian rupa menjadikan pembedaan antara yang private dan yang publik menjadi anasir atau borderless (cf. Henry Wai-chung Yeung, "Capital, State and Space: Contesting the Borderless World", Department of Geography, National University of Singapore, 27 Februari 1998). Tindakan-tindakan negara dalam menandatangani SKL dan R&D bagi pengemplang dana BLBI lewat Inpres No. 8 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas, privatisasi badan-badan usaha milik negara semacam PT Indosat Tbk. yang dimenangkan Temasek, ataupun Perpres No. 14 tahun 2007 dan Kepres No. 31/M Tahun 2007 mengenai penanggulangan Lumpur Panas Sidoarjo, kiranya perlu dibenturkan dengan Yurisprudensi MARI No. 229 K/Sip/1975 tanggal 18 Mei 1977 dan SEMA No.MA/Pemb/0159/77 tanggal 25 Februari 1977 yang mengandung kaidah bahwa dalam perkara gugatan terhadap pemerintah, pengadilan bawah harus mencermati apakah pemerintah telah bertindak berdasarkan hukum publik atau melakukan perbuatan sebagai badan privat.

 

Demikian pula halnya dengan kapasitas korporasi dan asosiasi bisnis/profesi dalam melahirkan lembaga PHI lewat UU No. 2 Tahun 2004 atau dalam menolak penerbitan Surat Edaran Kementerian BUMN yang menderogate Keppres No. 80 Tahun 2003, peserta pilkada yang keberatan dengan hasil-hasil pilkada yang ditetapkan negara (KPU/D) atau pelaku usaha yang keberatan terhadap putusan KPPU, maupun gugatan-gugatan kewargaan (citizen lawsuit) dan judicial review oleh lembaga swadaya masyarakat, menunjukkan kepada kita bahwa pendulum state-market-civil society semakin berimbang dalam kerangka negara hukum itu sendiri. Hukum tidak lagi sekadar menilai sifat private tindakan negara dalam batas-batas ‘kontan, konkrit, dan individual' (beschikking) belaka, melainkan pada kesetaraan aktor-aktor sosial di dalamnya (state, market, civil society).

 

Sebagaimana disadari sendiri oleh saudara Boen, Penulis sangat percaya keseimbangan pendulum state-market-civil society ini dapat terancam jika solusi untuk mengatasi praktik-praktik gangguan perkara itu dilakukan lewat introdusir suatu ketentuan hukum yang baku terhadapnya. Janganlah pertimbangan hukum hakim yang ‘aneh bin ajaib' itu dipersalahkan kepada, misalnya, LSM yang mengajukan suatu gugatan dengan tujuan itikad baik untuk mempertahankan hak-hak warganegara atau untuk ‘membangkitkan awareness masyarakat Indonesia dan memberi peringatan kepada Pemerintah agar memperhatikan kesejahteraan rakyat'.

Tags: