Aliansi Tolak RKUHP Bila Tanpa Transparansi dan Partisipasi Bermakna
Terbaru

Aliansi Tolak RKUHP Bila Tanpa Transparansi dan Partisipasi Bermakna

Dalam prosesnya pemerintah mengaku terus menyerap masukan, mendengar untuk menyempurnakan draf RKUHP, seperti ada pasal-pasal yang dicabut dari draf RKUHP.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu, tiga jenis penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara menjadi perhatian bersama. Pasalnya, tidak diaturnya delik aduan dalam penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara melalui sarana teknologi informasi (Pasal 354 RKUHP) menjadi persoalan.  

“Hal lain seperti teknis penyesuaian dalam bentuk kodifikasi terhadap tindak pidana di luar KUHP juga belum secara komprehensif diatur, seperti harmonisasi dengan UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS); dan lainnya,” ujarnya.

Anggota Aliansi lainnya, Julius Ibrani melanjutkan poin selanjutnya. Ketiga, Aliansi meminta agar Tim Perumus RKUHP Pemerintah dan DPR terlebih dahulu membuka luas pembahasan RKUHP dan tidak mengesahkan RKUHP tanpa adanya pembahasan dengan partisipasi bermakna sesuai arahan Presiden Jokowi pada 2019.

Aliansi menilai pemerintah sepertinya masih dalam posisi ingin mengesahkan RKUHP tanpa adanya pembahasan yang lebih dalam. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam proses pembentukan UU. Keempat, Aliansi menilai pemerintah tidak merespons permintaan penghapusan pasal-pasal yang bertentangan dengan misi RKUHP untuk melakukan dekolonialisasi.

Pasal-pasal colonial yang dimaksud, seperti penghinaan presiden, penguasa umum, lembaga negara sampai dengan larangan unjuk rasa. Bahkan, pasal itu tak lagi ada di KUHP Belanda, tapi masih ingin dipertahankan. Atas dasar itu, karena isu-isu krusial dalam RKUHP yang sedemikian banyak, namun disimplifikasi pada 14 isu krusial versi pemerintah, serta ketidakjelasan durasi waktu dan target pembahasan RKUHP, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak pengesahan RKUHP apabila tanpa pembahasan yang transparan dan ada partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej menampik tudingan bahwa pemerintah seolah tak mendengar masukan dan melibatkan masyarakat. Menurutnya, RKUHP berstatus carry over seperti RUU Minerba dan RUU Bea Materai. Namun kedua RUU tersebut saat masuk prolegnas berikutnya langsung diketuk di rapat paripurna. Tapi lain halnya dengan RKUHP yang tidak langsung diketuk (disahkan).

Pemerintah malah terlebih dahulu mensosialisasikan ke masyarakat terkait dengan 14 isu krusial yang telah disepakati pemerintah dan DPR. Sejak Februari 2021 hingga 14 Juni 2021, pemerintah mensosialisasikan RKUHP, khususnya 14 isu krusial ke 12 daerah. Menurutnya, dalam sosialisasi Tim Perumus RKUHP pemerintah lebih banyak mendengar masukan yang kemudian digunakan untuk merevisi dan menyempurnakan draf RKUHP yang sebelumnya.

Tim ahli pemerintah pun kerapkali menggelar pertemuan secara virtual. Bahkan mengundang sejumlah kalangan yang kompeten di bidang masing-masing isu. Bahkan, hasilnya ada pasal yang dihapus dari draf RKUHP. Seperti Pasal yang mengatur advokat curang dan pasal tentang praktik tukang gigi palsu. “Jadi jangan bilang kita tidak sosialisasi. Kita mendengar dan tidak tuli dan buta. Tapi jangan diartikan kita tidak mendengar,” katanya.

Tags:

Berita Terkait