Aliansi Apresiasi Masuknya Ujaran Kebencian Dalam RKUHP
Terbaru

Aliansi Apresiasi Masuknya Ujaran Kebencian Dalam RKUHP

Tapi perlu ada penjelasan yang lebih rinci dan lengkap untuk frasa “penodaan agama” sebagaimana diatur pasal 302 ayat (2) RKUHP.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan RUU KUHP (RKUHP) oleh pemerintah dan DPR terus dilakukan dan ditargetkan tidak lama lagi dapat disahkan. Aliansi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyoroti berbagai substansi RKUHP yang harus dibenahi. Koalisi Kebebasan Beragama sekaligus Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, mengapresiasi masuknya ketentuan ujaran kebencian (hate speech) dalam Pasal 302 RKUHP.

Kendati mengapresiasi, tapi Asfin mencatat masih ada persoalan dalam Pasal 302 ayat (2) RKUHP karena masih mencantumkan frasa “penodaan agama” yang tidak dijelaskan secara detail dan lengkap artinya. Padahal dalam menyusun ketentuan pidana harusnya memperhatikan asas legalitas yakni unsur-unsur pidana yang diatur harus ketat.

Asfin membandingkan ketentuan pencurian yang diatur jelas dalam RKUHP yakni mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Sementara penjelasan detail seperti itu tidak ada untuk penodaan agama. “Penerapan ketentuan penodaan agama seperti ini berpotensi menyebabkan kriminalisasi, membuat korban malah menjadi pelaku dan memenjarakan korban intoleransi,” kata Asfin dalam Media Briefing Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Kamis (16/6/2022) kemarin.

Pengaturan yang ketat juga perlu untuk ketentuan penghinaan agar tidak multitafsir. Pengaturan ketat unsur pidana bagi Asfin sangat penting karena pidana pada dasarnya melanggar HAM. Oleh karena itu pengaturan dan penggunaannya harus ketat.

Baca Juga:

Soroti dua hal

Dalam kesempatan yang sama Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referendum, menyoroti sedikitnya 2 hal dalam RKUHP. Meliputi ketentuan pidana terhadap aborsi atau pengguguran kandungan dan harmonisasi RKUHP dengan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

RKUHP berpotensi menjerat pidana korban kekerasan seksual selain perkosaan dalam hal aborsi. Pengecualian pidana aborsi RKUHP hanya untuk korban perkosaan dan indikasi darurat medis. Padahal, UU No.12 Tahun 2022 mengatur beragam jenis kekerasan seksual tak hanya perkosaan atau perbuatan cabul sebagaimana diatur KUHP saat ini.

“Misalnya eksploitasi seksual berpotensi membuat korban menjadi hamil. Maka ketentuan pidana aborsi ini harus dikecualikan untuk korban kekerasan seksual,” usul Citra.

Kemudian RKUHP juga mengancam pidana bagi pihak yang menyediakan akses aborsi aman terhadap korban kekerasan seksual seperti perawat, dokter, bidan dan lannya. Ketentuan ini sebaiknya dihapus.

Tak ketinggalan Citra mengusulkan harmonisasi RKUHP dengan UU TPKS. Hal itu penting mengingat selama ini bentuk kekerasan seksual yang diatur KUHP hanya perkosaan dan perbuatan cabul. Unsur tersebut dinilai tidak bisa memenuhi unsur komprehensif perkosaan. KUHP mendefinisikan perkosaan sebagai penetrasi alat kelamin dan keluar mani. Padahal saat ini unsur perkosaan lebih berkembang daripada yang diatur KUHP.

Citra mengapresiasi RKUHP karena telah mengubah definisi perkosaan tersebut. Tapi harus dilakukan harmonisasi dengan UU TPKS mengingat beleid itu tidak memberikan definisi rinci tentang perkosaan. Dia mengusulkan delik kekerasan seksual dalam UU TPKS diatur untuk masuk dalam bab khusus di RKUHP. Harapannya agar korban bisa menggunakan skema yang diatur dalam UU TPKS baik jaminan terhadap hak korban, hukum acara, lembaga atau pendamping yang bisa diakses korban.

“RKUHP harus diharmonisasi agar aturan baik dalam UU TPKS bisa diterapkan bagi seluruh korban kekerasan seksual di indonesia,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait