Alasan Walhi Tolak Konsultasi Publik Aturan Turunan UU IKN
Utama

Alasan Walhi Tolak Konsultasi Publik Aturan Turunan UU IKN

Selain proses pembentukannya UU IKN tanpa kajian komprehensif, juga mengabaikan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana saat pengesahan RUU IKN menjadi UU, Selasa (18/1/2022) lalu. Foto: RES
Suasana saat pengesahan RUU IKN menjadi UU, Selasa (18/1/2022) lalu. Foto: RES

Meski tak menerima undangan secara formal, nama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) masuk dalam daftar peserta konsultasi publik peraturan pelaksana UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Kalaupun diundang resmi, Walhi menolak hadir. Terdapat beberapa alasan Walhi menolak hadir dan memberikan masukan atau pandangan terhadap penyusunan aturan turunan UU 3/2022 ini. 

“Kami menegaskan hingga tanggal 21 Maret 2022, Walhi tidak menerima surat undangan secara formal baik undangan fisik ataupun email. Kami, Walhi menyatakan penolakan terhadap konsultasi publik peraturan pelaksanaan UU IKN,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi dalam suratnya yang diperoleh Hukumonline, Senin (21/3/2022).

Nama Walhi masuk daftar kepesertaan dalam surat undangan konsultasi publik peraturan pelaksana UU IKN dengan nomor surat 03283/HM.01.01/SES/B/03/2022 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) tertanggal 17 Maret 2022. Penolakan hadir secara resmi dituangkan Walhi dalam suratnya yang ditujukan ke Menteri PPN/Bappenas pada Senin (21/3/2022).

Menurut Zenzi, organisasi yang dipimpinnya memiliki kantor di 28 provinsi dengan terdiri dari 487 organisasi anggota. Sebagai organisasi advokasi di bidang lingkungan hidup, Walhi memiliki perhatian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berdampak terhadap lingkungan hidup, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Terdapat dua alasan Walhi menolak hadir.

Baca:

Pertama, aturan turunan sebagai pelaksana UU 3/2022 yang bakal dikonsultasikan menginduk pada UU yang proses pembentukannya disusun tanpa kajian komprehensif; mengabaikan hal-hal prinsipil, terutama prinsip partisipasi publik yang bermakna. Kedua, aturan pelaksana UU 3/2022 yang bakal dikonsultasikan merupakan aturan turunan dari UU yang melegitimasi keputusan politik dengan mengabaikan prinsip partisipasi publik yang bermakna tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. 

Dia mengingatkan ada hal yang perlu menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan UU yakni partisipasi masyarakat. Memberi kesempatan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembentukan UU menjadi mandat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945.

Terlebih, partisipasi masyarakat dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara.  Menurutnya, apabila proses pembentukan UU yang menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk mendiskusikan dan mendebat materinya dapat dipandang melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people’s sovereignty). 

“Oleh sebab itu, menurut kami partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation), sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh,” ujarnya.

Dia menerangkan partisipasi yang lebih bermakna setidaknya memenuhi tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Partisipasi publik tersebut diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas. Berdasarkan sejumlah alasan itu, Walhi berkeberatan dan menolak konsultasi publik peraturan pelaksana UU 3/2022 yang tidak memenuhi prinsip partisipasi publik.

“Kami berharap adanya mekanisme koreksi atas berbagai keputusan sepihak pemerintah selama ini yang dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga Negara terhadap penyelenggara negara,” katanya.

Pemerintah diketahui sedang menyusun berbagai aturan turunan dari UU 3/2022. Masyarakat pun diminta terlibat dalam memberi masukan. Setidaknya terdapat 6 peraturan yang bakal disiapkan. Seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kewenangan Khusus Otoritas Ibu Kota Nusantara (IKN); PP Pendanaan dan Penganggaran IKN; Peraturan Presiden (Perpres) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN.

Selain itu, Perpres Rincian Rencana Induk IKN; Perpres Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di IKN; dan Perpres Otorita IKN. Sebagaimana tertera dalam UU 3/2022 yang mengamanatkan aturan pelaksana wajib ditetapkan dalam kurun waktu paling lama 2 bulan sejak UU diundangkan.

Seperti diketahui, seluruh rancangan aturan turunan UU IKN tersedia pada situs resmi www.IKN.go.id, masyarakat diberikan kesempatan menulis komentar dan masukan. Pola yang digunakan pemerintah kali ini sama halnya dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah cenderung memberikan ruang partisipasi publik luas sebatas pada pembuatan aturan turunan. Sementara saat pembentukan dan pengesahan RUU-nya, masyarakat tak leluasa diberi ruang dalam memberi masukan.   

Sebelumnya, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi mencatat ada 21 komunitas adat anggota AMAN yang berada di lokasi yang akan dijadikan IKN. Sama seperti pengesahan UU No.11 Tahun 2020, Erasmus berpendapat pembahasan RUU IKN tidak melibatkan partisipasi penuh masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat seharusnya terlibat, termasuk dalam perencanaan pembangunan IKN.  

AMAN sempat hadir dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus IKN dan telah menyampaikan berbagai hal tersebut. “Di lokasi IKN ada sejumlah masyarakat hukum adat seperti etnis Paser, dan sub etnik Dayak. Kami usulkan sebelum dibangun IKN agar diselesaikan terlebih dulu konflik struktural yang ada,” kata Erasmus dalam konferensi pers bertema “Pemindahan Ibu Kota Negara Sarat Masalah, Tidak Menjawab Persoalan Struktural”, Selasa (15/3/2022) kemarin.

Sekalipun ada pembahasan dan negosiasi terkait pengadaan lahan untuk IKN, Erasmus yakin yang dilibatkan pemerintah hanya perusahaan yang mengantongi izin di lokasi tersebut. Sementara masyarakat hukum adat yang kepemilikan lahannya secara turun temurun berpotensi tidak diakui keberadaannya.

Ia melihat proses pembentukan UU IKN yang sangat cepat dan minim pelibatan penuh masyarakat hukum adat, Erasmus yakin pasal-pasal tersebut tidak akan berjalan. Salah satu penyebabnya karena struktur hukum masyarakat hukum adat setempat tergolong sangat rumit. Dalam RDP dengan pansus DPR AMAN sudah menyampaikan hal tersebut, dan berharap agar ada terobosan.

“Kalau hanya mengikuti logika hukum tersebut, (pasal terkait masyarakat adat dalam UU IKN, red) hanya hiasan dan tidak bisa operasional,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait