Alasan Pimpinan KPK Dkk Ikut ‘Gugat’ Perubahan UU KPK
Berita

Alasan Pimpinan KPK Dkk Ikut ‘Gugat’ Perubahan UU KPK

Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak masuk Prolegnas 2019, waktu pembahasan dan pengesahan yang begitu cepat dan tertutup tanpa melibatkan publik dan KPK, tidak adanya naskah akademiknya, dan lain-lain.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Pimpinan KPK dan pemohon lain usai mendaftarkan permohonan uji materi Perubahan UU KPK di Gedung MK, Rabu (20/11/2019). Foto: AID
Pimpinan KPK dan pemohon lain usai mendaftarkan permohonan uji materi Perubahan UU KPK di Gedung MK, Rabu (20/11/2019). Foto: AID

Tiga Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang resmi melayangkan judicial review atas UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini didukung mantan Pimpinan KPK yakni M. Jasin, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Juru Bicara KPK Betti S Alisjahbana, dan sejumlah tokoh diantaranya Mayling Oey, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad yang juga tercatat sebagai Pemohon.       

 

"Hari ini, atas nama pribadi sebagai warga negara Indonesia, kita mengajukan judicial review Perubahan UU KPK. Ada beberapa orang pemohon. Langkah ini dilakukan secara paralel sembari menunggu Presiden mengeluarkan Perppu atas UU tersebut," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung MK Jakarta, Rabu (20/11/2019). Baca Juga: UII Yogyakarta Turut Gugat Uji Perubahan UU KPK

 

Komisioner KPK Laode M Syarif mengatakan pengujian Perubahan UU KPK ini selain uji formil, juga akan mengajukan uji materil. Untuk uji formil, Syarif menilai proses pengesahan revisi UU KPK terdapat beberapa kejanggalan. Pertama, sejak awal pembahasan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2019.

 

Kedua, waktu pembahasan dan pengesahan yang begitu cepat dan tertutup dengan tidak melibatkan publik dan KPK sebagai pemangku kepentingan dalam pembahasan. Ketiga, tidak adanya naskah akademik yang faktanya tidak pernah diperlihatkan.

 

"Revisi UU KPK ini tidak masuk Prolegnas 2019, tapi tiba-tiba muncul. Kemudian, waktu pembahasan dibuat sangat tertutup, tidak berkonsultasi dengan masyarakat. Bahkan, tidak berkonsultasi dan meminta pendapat KPK sebagai stakeholder utama KPK, dan naskah akademik pun tidak pernah diperlihatkan,” kata Syarif.  

 

“Dan banyak lagi yang bertentangan dengan aturan hukum dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jadi, banyak hal yang dilanggar. Itu dari segi formilnya.”

 

Sementara dari segi materilnya, Laode melanjutkan salah satunya ada pertentangan (kontradiksi) Pasal 69 D dan Pasal 70 C Perubahan UU KPK itu. Bahkan, sebenarnya ada kesalahan tentang pengetikan antara syarat komisioner KPK, apakah 40 tahun atau 50 tahun. “Memang kelihatan sekali UU ini dibuat secara terburu-buru, sehingga kesalahannya juga banyak. Apa-apa saja yang dimintakan dalam judicial review ini, nanti (lengkapnya) kami sampaikan ke MK," katanya.

 

Pasal 69 D berbunyi, “Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.”

 

Sementara, Pasal 70 C berbunyi, “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

 

Salah satu Tim Advokasi UU KPK yang menjadi kuasa hukum para pemohon, Kurnia Ramadhana mengatakan pendaftaran permohonan judicial review Perubahan UU KPK ini baru memasukan uji formil. Sementara untuk uji materilnya masih merumuskan dan memperkuat dalil permohonan dan mengumpulkan sejumlah buktinya.

 

"Hari ini kita resmi mengajukan judicial review untuk uji formil dulu. Untuk materilnya kita masih mengumpulkan beberapa bukti untuk memperkuat permohonan. Total pemohon yang mengajukan uji materi ini ada 13 orang," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini.  

 

Saat ditanya absennya Komisioner KPK Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan, Laode mengklaim kedua rekannya tersebut tetap memberikan dukungan. "Ya, mereka tidak memasukkan nama, tapi mendukung," katanya.

 

Sebelumnya, sudah ada empat permohonan mengenai pengujian Perubahan UU KPK ini yang sudah menggelar sidang panel pendahulan. Pertama, dimohonkan 190 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia diantaranya Muhammad Raditio Jati Utomo; Deddy Rizaldy Arwin Gommo; Putrida Sihombing; dkk. Mereka mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK ini. Secara formil, pembentukan Revisi UU KPK ini tidak memenuhi asas keterbukaan sesuai Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Secara materil, Para Pemohon mempersoalkan syarat-syarat pemilihan anggota KPK dan pemilihan pimpinan KPK di Komisi III DPR yang telah diatur Pasal 29 UU KPK. Menurutnya, pemilihan Firly Bahuri sebagai ketua KPK yang baru menuai pro dan kontra. Seharusnya ada mekanisme atau upaya hukum melalui (pembuktian) pengadilan untuk membuat terang proses pemilihan pimpinan KPK itu demi menghilangkan fitnah atau polemik di masyarakat.

 

Karena itu, dalam petitum provisinya, Para Pemohon meminta MK memerintahkan DPR dan Presiden untuk memberhentikan (membatalkan) pelantikan lima anggota KPK terpilh. Selain itu, pembentukan Perubahan UU KPK ini mengabaikan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik seperti tertuang dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur adanya prinsip keterbukaan, sehingga mesti dibatalkan.

 

Permohonan kedua diajukan 25 orang yang berprofesi sebagai advokat yang mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK. Pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan pengujian materiil terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf a UU ini terkait konstitusionalitas keberadaan Dewan Pengawas KPK.

 

Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonannya dengan membatalkan Perubahan UU KPK ini. Sebab, pengujian UU No. 19 Tahun 2019 secara formil tidak memenuhi syarat dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam pengujian materil, apabila MK berpendapat lain, setidaknya MK menyatakan Pasal 21 ayat 1 huruf a UU No. 19 Tahun 2019  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

Permohonan ketiga, diajukan oleh Gregorius Yonathan Deowikaputra yang berprofesi sebagai pengacara. Dia merasa dirugikan dengan kinerja DPR yang telah dipilih dan diberi mandat menjalankan fungsinya, antara lain fungsi legislasi yang tidak melaksanakan amanah tersebut secara baik, jujur, adil, terbuka, itikad baik, dan bertanggung jawab.  

 

Gregorius menilai proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK dapat dikatakan telah dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan atau meminta masukan masyarakat luas. Adanya fakta itu, Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta keterbukaan yang merupakan asas-asas yang harus diterapkan DPR dalam proses pembentukan UU sebagaimana digariskan Pasal 118 Tata Tertib DPR (termasuk UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, red).  

 

Karena itu, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan proses pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Baca Juga: 25 Advokat Perkuat Alasan Uji UU KPK

 

Sementara permohonan keempat diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid; Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum UII); Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII); Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII); dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). Mereka telah mendaftarkan permohonan uji formil dan materil terhadap Perubahan UU KPK ke MK pada 7 November 2019 lalu.        

Tags:

Berita Terkait