Alasan Perceraian yang Dibolehkan oleh Undang-undang
Terbaru

Alasan Perceraian yang Dibolehkan oleh Undang-undang

Pasangan suami istri yang mengajukan perceraian tidak serta merta dapat dikabulkan langsung oleh pengadilan, harus ada alasan tertentu yang diperbolehkan mengajukan perceraian ke pengadilan.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Perceraian merupakan putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri dengan keputusan pengadilan dengan adanya cukup alasan bahwa di antara suami dan istri tersebut tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami dan istri.

Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak dapat lagi mendamaikan atau mediasi kedua belah pihak.

Dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. Tahun 1974 tentang Perkawinan, gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut.

Baca Juga:

Pasangan suami istri yang mengajukan perceraian tidak serta merta dapat dikabulkan langsung oleh pengadilan perceraiannya, harus ada alasan tertentu yang diperbolehkan mengajukan perceraian ke pengadilan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian di antaranya:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2.  Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena ada hal yang lain diluar kemampuannya.

3.  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

5.  Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.

6.   Antara suami atau istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi di dalam rumah tangga.

Selain alasan tersebut, terdapat alasan tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 kompilasi Hukum Islam, yaitu:

1. Suami melanggar taklik talak, yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Alasan-alasan ini akan dibuktikan di persidangan pengadilan, karena melakukan perceraian tidaklah mudah. Menurut Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur bahwa saat melakukan perceraian harus mencukupi beberapa alasan, bahwa suami dan istri tidak akan dapat hidup sebagai suami dan istri.

Hal ini dikarenakan akan timbulnya beberapa akibat yang diatur dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang menjelaskan mengenai akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3.  Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kebijakan bagi bekas istri.

Akibat dari perceraian adalah adanya anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan itu. Dalam hal ini, perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut bersama ayah atau ibu.

Hal ini tentu akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap anak, terutama jika anak yang hadir saat perceraian masih dibawah umur dan belum dapat memutuskan suatu persoalan.

Selain permasalahan anak, akibat pokok lainnya dari perceraian adalah pembagian harta bersama. Jika sebelum pernikahan suami dan istri tidak melakukan perjanjian pra nikah atau perjanjian pisah harta, maka harta yang didapat selama perkawinan harus dibagi dua saat bercerai.

Tags:

Berita Terkait