Perceraian merupakan putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri dengan keputusan pengadilan dengan adanya cukup alasan bahwa di antara suami dan istri tersebut tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami dan istri.
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak dapat lagi mendamaikan atau mediasi kedua belah pihak.
Dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. Tahun 1974 tentang Perkawinan, gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut.
Baca Juga:
- Dua Isu Perlunya Perbaikan Pendidikan Hukum di Indonesia
- Akademisi Sebut Pentingnya Pemanfaatan Teknologi Untuk Hukum yang Inovatif dan Adaptif
- Mengenal Hak Retensi Advokat
Pasangan suami istri yang mengajukan perceraian tidak serta merta dapat dikabulkan langsung oleh pengadilan perceraiannya, harus ada alasan tertentu yang diperbolehkan mengajukan perceraian ke pengadilan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian di antaranya:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.