Alasan Pemerintah Mengatur Ulang Sanksi Perpajakan dalam UU Cipta Kerja
Utama

Alasan Pemerintah Mengatur Ulang Sanksi Perpajakan dalam UU Cipta Kerja

Bukan bertujuan untuk meng-empower WP untuk melakukan pelanggaran perpajakan. Namun bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10) lalu. Foto: RES

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah beberapa poin terkait sektor perpajakan. Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo mengatakan bahwa terdapat empat latar belakang perubahan sektor perpajakan di UU Ciptaker. Empat latar belakang dimaksud adalah meningkatkan pendanaan investasi, mendorong kemudahan kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, meningkatkan kepastian hukum, dan menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Salah satu terobosan di sektor pajak yang mengalami perubahan cukup signifikan adalah terkait sanksi perpajakan. Misalnya sanksi denda. UU Ciptaker mengatur ulang sanksi denda yang besaranya lebih kecil ketimbang sanksi denda di UU pajak terdahulu. Bahkan besaran denda disesuaikan dengan tingkat kesalahan Wajib Pajak (WP).

Pertama, besaran sanksi administrasi berupa bunga per bulan mengacu pada suku bunga acuan. Suku bunga acuan ini ditentukan oleh Menteri Keuangan. Adapun cara perhitungannya adalah besaran suku bunga acuan (dalam persen), ditambah uplift factor sesuai tingkat kesalahan WP (dalam persen) kemudian dibagi dengan 12 bulan.

“Ada dimensi kriteria dalam memberlakukan sanksi pajak. Dan ini angkanya lebih kecil. Kalau dulu denda 2 persen perbulan sekarang dihitung misalkan suku bunga 6 persen + upflit factor 10 persen: 12, hasilnya ga sampai 2 persen,” kata Suryo dalam sebuah seminar daring, Kamis (19/11). (Baca: Kluster Pajak di UU Cipta Kerja Ciptakan Kepastian Iklim Keadilan Berusaha)

Kedua, sanksi terkait pengungkapan kebenaran atau bukti permulaan. Jika di UU KUP yang lama sanksi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebesar 150 persen, namun UU Ciptaker memangkas menjadi 100 persen. Dalam konteks ini, Suryo mengingatkan WP untuk melakukan pembentulan pajak dengan kesadaran sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP agar mendapatkan sanksi yang lebih murah.

Ketiga, sanksi pidana sektor perpajakan. DJP membuka peluang untuk menghentikan penyidikan terkait pidana pajak dengan denda sebesar 300 persen dari total pajak terutang/kurang bayar. Sementara di UU KUP yang lama, WP harus membayar 4 kali pajak terutang/kurang bayar/tidak seharusnya dikembalikan.

Suryo menegaskan bahwa pengaturan ulang sanksi perpajakan bukanlah bertujuan untuk meng-empower WP untuk melakukan pelanggaran perpajakan. Namun bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

“Ini bukan meng-empower orang melakukan tindak pidana. Karena selama ini banyak yang bilang mereka mau nebus pajak, tapi enggak bisa bayar 400 persen, termasuk waktu dauber suruh bayar 150 persen. Ini mungkin jadi esensi pemaham kami, bagaimana meningkatkan kepatuhan pajak dan ke depannya tidak diulang lagi,” jelas Suryo.

Untuk itu Suryo meminta masukan dari semua pihak terkait aturan turunan klaster perpajakan, baik berupa PP dan PMK yang saat ini tengah disusun oleh pemerintah.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suryadi Sasmita, mengapresiasi pemerintah atas lahirnya UU Ciptaker. Namun dia berharap agar UU Ciptaker dapat disosialisasikan lebih masif lagi, termasuk sosialisasi penyusunan PP dan peraturan Menteri.

“Pengusaha mengucapkan banyak teirma kasih kepada pemerintah, karena punya ide memasukkan hal-hal esensial ke UU Ciptaker. Sekarang bagaimana mensosialisasikan, segitu banyak orang yang sudah mensosialisasikan UU Ciptaker tapi masih ada yang tidah tahu. Karena sosialisasi tidak detail, bagaimana PP, PMK, semua simpang siur,” katanya pada acara yang sama.

Selain itu, dia meminta pemerintah untuk mendengarkan dan melibatkan stakeholder dalam penyusunan RPP ataupun RPM. Bahkan RPP dan RPM yang sudah disusun bisa dipublikasikan kepada masyarakat atau stakeholder sehingga publik dapat memberikan masukan. Di sisi lain, Suryadi juga meminta pemerintah, dalam penyusunan RPP dan RPM dapat memberikan penjelasan yang disertai contoh untuk menghindari multitafsir.

Pengamat pajak, Darussalam menyebut bahwa sebagian besar perubahan sektor pajak seperti mimpi yang menjadi nyata. Pasalnya di 10 hingga 20 tahun yang lalu, aturan perpajakan yang diatur dalam UU Ciptaker adalah hal-hal yang diharapkan bisa terjadi.

Misalnya terkait dividen. Di aturan terdahulu, WP Badan dan WP Orang Pribadi (OP) mendapatkan besaran pajak yang berbeda. Namun dengan UU Ciptaker, besaran pajak dividen diberlakukan sama antara WP Badan dan WP OP yakni sebesar 22 persen.

Kemudian Darussalam menilai pemerintah mempunyai keberanian yang luar biasa ketika memutuskan untuk menggeser fungsi pajak. Dengan UU Ciptaker, pajak tak hanya bertujuan untuk mendapatkan revenue, tetapi juga menyeimbangkannya dari sisi regulasi.

“Ini keberanian luar biasa karena DJP tujuan utama revenue, sekarang agak bergeser bagaimana membalancingkan untuk regulasi. Dari 21 ketentuan perpajakan yang saya baca, diharapkan bagaimana penyusunan PP dan PMK itu sejalan searah dengan tujuan besar dari UU Ciptaker itu sendiri dan itu yang kita kawal.”

“Sekarang bahas RPP dan PMK seca terbuka dan bersama-sama, saya piker ini transparansi yang luar biasa. Dan ini penting dari seluruh 21 poin itu dibutuhkan kepastian dalam menjalankan aturan. Keadilan akan datang sepanjang ada kepastian aturan yang sudah ditetapkan dijalankan dan diimplementasikan dengan baik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait