Alasan Pemerintah Memilih Kontrak Bagi Hasil
Berita

Alasan Pemerintah Memilih Kontrak Bagi Hasil

Akademisi menilai pemerintah memahami makna konsesi yang sudah ketinggalan zaman. Usulkan model ‘Izin Publik Khusus’.

CR-14
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi Bedah Putusan MK dan Analisis Bentuk Kelembagaan Sektor Hulu Migas yang Ideal di FH UI. Foto: Sgp
Acara diskusi Bedah Putusan MK dan Analisis Bentuk Kelembagaan Sektor Hulu Migas yang Ideal di FH UI. Foto: Sgp

Sepanjang sejarah Indonesia telah menggunakan beberapa model kerjasama pengelolaan migas, seperti konsesi, kontrak karya, dan kontrak bagi hasil. Kini, pemerintah menerapkan kontrak bagi hasil, atau lazim disebut Profit Sharing Contract (PSC). Mengapa?

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susyanto, menjelaskan model PSC lebih memberikan jaminan. Industri minyak dan gas (migas) padat resiko, padat modal, dan padat teknologi. Resiko yang dihadapi pengusaha sangat besar, termasuk resiko kegagalan eksplorasi dan eksploitasi.

“Inilah yang mendasari pemerintah masih menggunakan model profit sharing contract (PSC) atau kontrak bagi hasil dalam kontrak kerjasama migas dengan para investor,” tandasnya kepada hukumonline disela acara “Bedah Putusan Mahkamah Konstitusi dan Analisis Bentuk Kelembagaan Sektor Hulu Migas yang Ideal”, di Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Depok, Senin (28/1) kemarin.

Pada 13 November lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Salah satu argumentasi yang dibangun adalah inefisiensi pengelolaan migas sehingga tujuan untuk kesejahteraan rakyat belum tercapai. Selain itu, melalui konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola sumber daya alam Migas. Padahal pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945.

Bernada kritik, Susyanto menilai putusan Mahkamah Konstitusi berimbas negatif. Pemerintah kehilangan profit dari sektor migas sebesar satu triliun rupiah per hari dari kontrak PSC. Distribusi kesejahteraan melalui pemanfaatan energi bagi masyarakat jadi terhambat. Ia berpendapat PSC adalah model yang tepat bagi Indonesia. “Kami dituntutut harus bisa menyediakan landasan hukum yang berfungsi sebagai pedoman kontraktor untuk masalah kontrak migas ini. Kami menilai PSC adalah model yang tepat untuk diterapkan” ujarnya.

Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara kontrak bagi hasil dan konsesi dalam pengelolaan sektor migas. Konsesi hanya mempunyai implikasi berupa pemberian keuntungan kegiatan produksi migas kepada negara berdasarkan kesepakatan royalti. “Jadi, hanya sampai di situ saja keuntungan yang dapat diperoleh negara. Hanya sebatas uang saja”.

Dengan sistem kontrak bagi hasil, negara akan lebih banyak diuntungkan karena memberikan pemasukan tidak hanya dari sisi penjualan semata, namun juga jumlah kuota migas yang diproduksi oleh investor. “Komposisi pembagian keuntungannya kami tetapkan sebesar 85 persen untuk pemerintah dan sisanya kepada investor,” ungkap Susyanto.

Susyanto menambahkan, dengan model PSC ini pemerintah juga menetapkan ketentuan bagi investor untuk memasarkan 25 persen hasil produksi migas bagi Indonesia.  Negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi malah sudah menerapkan contract services system (CSS) atau sistem kontrak pelayanan. Dengan model ini, uang negara digunakan untuk menyewa jasa produksi migas kepada investor. “ Pemerintah di sana cukup mengeluarkan uang untuk membayar jasa produksi migas kepada investor tanpa kehilangan sedikitpun sumber daya migas bagi negara”.

Izin Publik Khusus

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tri Hayati menilai ada interpretasi yang salah terhadap model konsesi dalam pengelolaan migas. Pemberian konsesi tidak hanya terbatas pada pemberian royalti. “Interpretasi konsesi yang digunakan oleh pemerintah saat ini menyamakan dengan sistem konsesi yang ada pada masa kolonial di Indonesia. Itu kan pengertian yang keliru,” paparnya.

Tri Hayati berpendapat Indonesia sebenarnya bisa menerapkan model pemberian konsesi untuk menggeser rezim kontrak bagi hasil yang selama ini menempatkan pola hubungan kemitraan antara pemerintah dan investor. Sistem kontrak justru menempatkan pemerintah sejajar dengan investor. Akibatnya, “Pemerintah seringkali berada dalam posisi yang lemah jika terjadi sengketa melalui arbitrase internasional sehingga aset negara bisa terancam”.

Dosen hukum administrasi negara itu berpendapat konsesi lebih ideal digunakan. Konsep Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam rezim pertambangan mineral dan batubara lebih cenderung disebut konsesi. “Setelah ada izin, ada lampiran hak dan kewajiban pemegang izin. Jadi, ini sebenarnya adalah konsesi,” ia memberi contoh.

Tetapi model ini disesuaikan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Tri mengusulkan istilah Izin Publik Khusus (IPK). Titik tekan konsep IPK mengacu pada model baru konsesi sebagaimana yang dipraktekan di Belanda saat ini. Di sana, jelas Tri, ada izin kuasa pertambangan migas dari menteri. Dalam pelaksanaannya, para investor diberi batasan hak dan kewajiban mengingat izin ini berasal dari industri yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. ”Dalam izin tersebut secara tegas dikatakan bahwa tambang dan wilayah pertambangan dan seluruh isinya adalah milik pemerintah atas nama rakyat”, pungkas Tri.

Tags:

Berita Terkait