Alasan Pemerintah Adopsi Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP
Berita

Alasan Pemerintah Adopsi Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP

Panja RKUHP meminta agar sanksi hukuman pidana pasal penghinaan presiden diturunkan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Alasan Pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan presiden atau kepala negara dalam Rancangan KUHP (RKUHP) yang sebelumnya sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian KUHP lebih pada pertimbangan mengedepankan prinsip equality before the law dengan warga negara lain terutama ketika kepala negara sahabat dihina pelakunya dapat dipidana.

 

Anggota tim perumus RKUHP Prof Harkristuti Harkrisnowo berpendapat prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum diterapkan dalam posisi yang sama terhadap setiap warga negara. Terutama, ketika terjadi penghinaan terhadap kepala negara sahabat dan pejabat dari negara asing dapat dipidana sebagai delik laporan dalam KUHP.  

 

Dia mengakui pencabutan Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah melalui putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 6/PUU-V/2007, masyarakat dapat menghina presiden atau pemerintah tanpa dipidana. Namun, dalam KUHP terhadap kepala negara sahabat yang bertandang ke Indonesia misalnya, kemudian dihina, maka pelakunya dapat dipidana.

 

“Saya merasa kita kok agak diskriminatif ya, presiden sendiri nggak dihormati. Tetapi presiden asing kita ‘sembah-sembah’ dan dilindungi. Dia nggak perlu melapor (bukan delik aduan), polisi bisa langsung tangani. Tapi kalau presiden kita sendiri yang dipilih oleh 200 juta rakyat Indonesia dihina bukan pidana, saya berpikir logika (bagaimana),” ujarnya dalam rapat Panja RKUHP, Senin (5/2) kemarin.

 

Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia itu ada ketentuan pegawai negeri sipil ketika dihina, maka bukanlah delik aduan. Bila dibandingkan dengan penghinaan terhadap presiden dengan menjadi delik aduan, maka berarti posisi presiden berada di bawah pegawai negeri sipil.

 

“Jadi kita meletakan presiden di bawah pegawai negeri sipil. Itu mungkin perlu kita kaji bersama. Kayanya kita harus mendalami hal itu supaya tidak dianggap mendegradasi (posisi) presiden,” ujarnya.

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih mengatakan pembahasan tentang pasal penghinaan terhadap presiden memang menjadi satu dari belasan isu dalam RKUHP. Menurutnya, RKUHP tidak melihat siapa orang yang menjabat sebagai presiden, tetapi ada simbol negara yang harus dilindungi, sehingga penghinaan sejatinya masuk kategori perbuatan pidana.

 

Baca juga:

· Ancaman Kebebasan Berekspresi Masih ‘Bercokol’ di RKUHP

· Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi

· Empat Aturan dalam RKUHP Ini Ancam Kebebasan Berekspresi

· Ada Potensi Ancaman Kebebasan Pers Pasca Pembahasan RKUHP

 

Pemerintah sendiri tidak menempatkan penghinaan terhadap presiden sebagai delik aduan, tetapi delik biasa. Hanya saja, rumusan ancaman hukuman pidananya dapat diturunkan. “Pada saat dirumuskan masih menggunakan ketentuan yang lama tanpa ada ukuran. Setelah kami melakukan metode delphy, dia nanti punya ukuran dan bobotnya sedang. Jadi antara 2 tahunan (hukuman pidananya),” ujarnya.

 

Lebih lanjut, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menerangkan dengan sanksi hukuman dua tahun, pola pemidanaan pelaku penghinaan presiden tidak dilakukan pemenjaraan. Tetapi, dapat diterapkan dengan pidana pengawasan. Apabila ternyata sanksi hukuman yang dijatuhkan pengadilan 6 bulan, maka dapat dikenakan pidana kerja sosial.

 

Prof Enny mengakui pasal penghinaan terhadap presiden mengambil kembali (adopsi) dari Pasal 134 KUHP yang sudah dicabut MK. Ia berpendapat ketika dibatalkan MK, Pasal 134 berdiri sendiri. Kata lain, hanya satu pasal dan satu ayat tanpa ada pengecualian. Sedangkan dalam RKUHP, pemerintah menghendaki ada pengecualian terhadap pasal penghinaan presiden.

 

“Pengecualian tadi merupakan penghinaan, kalau itu kepentingan umum atau untuk pembelaan diri. Jadi sudah ada pengecualian atas tindak pidana pada ayat (1),” ujarnya.

 

Berikut perbandingan pasal penghinaan terhadap presiden dan kebencian terhadap pemerintah dalam KUHP dan RKUHP.  

Pasal-Pasal KUHP

(telah dicabut oleh MK)

Draf RKUHP

Pasal 134

Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 262

Setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama  9 (sembilan) tahun.

Pasal 136 bis

Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk  juga perbuatan tersebut pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya  yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum

Pasal 263

Setiap orang yang dimuka umum  menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan  untuk kepentingan umum demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Pasal 137

Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud   ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) taun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

Pasal 154

Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah

Pasal 284

Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

Pasal 155

Barang siapa menyebarluaskan, mempertunjukan, atau menempelkan secara terbuka tulisan atau gambar yang di dalamnya mengandung perasaan permusahan, kebencian atau merendahkan  terhadap pemerintah Indonesia, dengan maksud agar tuisan  atau gambar tersebut isinya diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun dan enam bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.

Jika orang yang bersalah telah melakukan  kejahatan tersebut dalam pekerjaanya atau pada waktu melakukan kejahatan tersebut belum  lewat lima tahun sejak ia dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan  kejahatan yang serupa makai a dapat dicabut haknya untuk melakukan pekerjaanya tersebut.

Pasal 285

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tuisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan  rekaman, sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah  dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

 

Anggota Panja RKUHP Arsul Sani menilai menjadi seorang presiden atau anggota DPR memang kerap dihina sepanjang terkait kinerja. Selain itu, soal hukuman pidana perlu diturunkan. Arsul membandingkan dengan pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah hanya dengan ancaman hukuman 3 tahun “Menghina pemerintah sama menghina presiden itu lebih berat mana?  kalau sama saja ya mestinya ancamannya sama,” ujarnya.

 

Arsul menilai pasal penghinaan terhadap presiden atau pemerintah mesti dipertimbangkan kembali. Sebab, ruang menghina pejabat presiden maupun anggota DPR mesti diakui lebih besar konsekuensinya ketimbang menjadi pejabat publik lain. Kendati demikian, Arsul sependapat masyarakat tidak boleh sembarangan menghina presiden maupun anggota DPR.

 

“Saya sekali lagi ingin menekankan ini ancaman hukumannya menurut kami harus diturunkan supaya tidak membuka kembali peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait