Alasan MK Tolak Uji Aturan Holding BUMN
Berita

Alasan MK Tolak Uji Aturan Holding BUMN

Pasal yang dimohonkan pengujian juga bukan persoalan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 14 ayat (3) huruf a, b, d, g, dan h UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait proses restrukturisasi atau privatisasi melalui Holding BUMN. Permohonan yang diajukan oleh Ketua Umum Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT PLN (Persero), H. Yan Herimen bersama para Pemohon lain ini dianggap tidak beralasan hukum.

 

“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis MK Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi saat membacakan amar putusan bernomor 12/PUU-XVI/2018 di ruang sidang MK, Kamis (31/5/2018) seperti dikutip laman resmi MK. Baca Juga: Holding BUMN Tetap dalam Kontrol DPR

 

Selengkapnya, Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) berbunyi, “Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai :a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva.”

 

Para Pemohon mendalilkan norma pasal yang diuji dapat menyebabkan hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan karena beralihnya kepemilikan BUMN seolah menjadi swasta (privatisasi) tanpa melalui proses pembahasan dan/atau pengawasan dari DPR. Hal ini akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) pegawai BUMN saat terjadinya perubahan kepemilikan perseroan.

 

Alasan Pemohon merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Aturan ini salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali dimana BUMN yang produksinya menyangkut hajat hidup orang banyak akan diprivatisasi.

 

Seperti, tertuang dalam PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan beberapa persyaratan di bidang penanaman modal. Dalam lampiran halaman 32 dan 33 dimana pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik swasta sahamnya dapat dimiliki hingga 95 sampai 100 persen. Hal ini akan menghilangkan fungsi negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak seperti dijamin Pasal 33 UUD Tahun 1945.

 

Menurut pemohon, Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) Perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan, dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.

 

Para Pemohon berpendapat tindakan korporasi berupa peleburan, penggabungan, dan pengalihan aktiva BUMN akan menyebabkan berakhirnya perseroan dan menyebabkan hilangnya kekuasaan negara dalam hal mengelola BUMN. Akibatnya terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan BUMN akibat perubahan kepemilikan perseroan tersebut.

 

Dalam putusannya, MK beralasan tidak ada relevansinya melibatkan DPR dalam aksi atau tindakan korporasi yang dilakukan oleh BUMN Persero. Sebab, DPR bukanlah bagian dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam hubungannya dengan BUMN, kalaupun secara implisit hendak dikatakan ada pengawasan DPR, hal itu harus diletakkan dalam kerangka fungsi pengawasan politik DPR terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden.

 

Mahkamah menilai dalam sistem presidensial, tidak seluruh tindakan pemerintah tunduk (atau menjadi objek) pada pengawasan DPR. Misalnya, hal-hal berdasarkan konstitusi ataupun praktik ketatanegaraan sepenuhnya bagian dari atau berada dalam ruang lingkup kewenangan diskresional pemerintah atau sepenuhnya hak prerogatif Presiden.

 

“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan putusan.

 

Menanggapi dalil Pemohon mengenai investasi pemerintah harus melalui persetujuan DPR, menurut Mahkamah, tindakan pembentukan anak perusahaan adalah bagian dari tindakan korporasi yang berkenaan dengan pengurusan (lingkup) perseroan. Karena itu, sambung Suhartoyo, seperti ditentukan Pasal 31 UU BUMN, pengawasannya dilakukan oleh komisaris, bukan oleh DPR.

 

Dengan demikian, dalil adanya pengawasan DPR dalam tindakan korporasi yang dilakukan BUMN, secara tidak langsung para Pemohon hendak menempatkan DPR seolah-olah sebagai komisaris BUMN. “Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya.

 

Bukan konstitusionalitas norma

Dalam kaitan PHK, Mahkamah menegaskan PHK tidaklah serta-merta mengandung persoalan konstitusionalitas. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna beralasan norma-norma PHK baru menjadi persoalan konstitusionalitas apabila berkaitan dengan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD Tahun 1945.

 

“Selama norma undang-undang yang mengatur PHK itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka peristiwa konkret berupa terjadinya PHK tidak merupakan persoalan konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya,” tutur Palguna.

 

Apabila dalam praktik terjadi pelanggaran ketentuan PHK, hal itu merupakan kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam lingkungan peradilan umum untuk mengadilinya. “Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU BUMN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tidak beralasan menurut hukum.” 

Tags:

Berita Terkait