Alasan MK Tolak Pengujian Kawin Beda Agama
Utama

Alasan MK Tolak Pengujian Kawin Beda Agama

Melalui putusan sebelumnya, MK telah memberi landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum. Dalam concurring opinion, dua hakim konstitusi mengusulkan Perubahan UU Perkawinan untuk mengakomodir perkawinan beda agama.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan. Foto: RES
Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak seluruh pengujian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait permohonan keabsahan perkawinan beda agama. “Amar putusan, mengadilimenolak permohonan para pmohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 di ruang sidang MK, Selasa (31/1/2023). Permohonan ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.  

Dalam Pertimbangannya, Mahkamah menyatakan keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberi penafsiran keagamaan. Peran negara menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara dalam rangka memberi kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat. “Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan putusan.  

Baca Juga: 

Terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tersebut, MK mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun demikian, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan HAM secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan dengan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing.  

Mahkamah mengingatkan berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 ada dua hak yang dijamin secara tegas yakni “hak membentuk keluarga” dan "hak melanjutkan keturunan”. Frasa berikutnya menunjukkan bahwa ‘perkawinan yang sah’ merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak tersebut. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak, melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.  

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945. Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi, tanpa mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR sudah seharusnya MK menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.

“Meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” dalih Mahkamah.

Hakim Konstitusi Wahiduddin melanjutkan ihwal keberadaan negara mengatur perkawinan, MK pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2018 lalu. Berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama, beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.

Perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji. Tapi, peran negara bukanlah membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.

Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.

Pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.

Perubahan UU Perkawinan

Dua hakim konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan yang berbeda (concurring opinion) atas putusan perkara pengujian UU Perkawinan ini. Menurut Suhartoyo, dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena “kurang atensinya” negara yang tidak mengakui dan menganggap “tidak sah secara agama” terhadap perkawinan beda agama karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi.

Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian, seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkannya pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini. Terlebih, pada perubahan UU Perkawinan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 hanyalah mengubah norma mengenai batas usia kawin sebagaimana implikasi dari putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017.

Untuk itu, perkawinan beda agama negara perlu mempertimbangkan agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif baik secara jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatannya.

Substansi perubahan dimaksud tentu menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak pada sisi yang lain. Sebab, sejatinya saat ini terjadi secara faktual akibat hukum perkawinan beda agama adalah sekedar pengakuan oleh negara secara administrasi saja.

“Saya berpendapat lebih tepat bagi Mahkamah mengembalikan kepada pembentuk UU yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UU Perkawinan tersebut jika memang akan dilakukan perubahan. Sehingga permasalahan perkawinan beda agama dapat terselesaikan dari akar masalahnya (root cause), tidak hanya selesai dalam ranah pencatatan administrasi, tetapi juga diperoleh jalan tengah yang bijak dengan tetap mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara untuk kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,” kata Suhartoyo.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan lembaga yang tepat mengatur ini adalah lembaga pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden/Pemerintah. “Kedua lembaga tersebut memiliki perangkat dan sumber daya yang lebih banyak daripada lembaga peradilan, seperti MK terutama perangkat dan sumber daya dalam menyerap berbagai aspirasi masyarakat. Begitu juga kemampuan melakukan riset yang mendalam dengan melibatkan berbagai macam dispiln keilmuan untuk menyiapkan naskah akademiknya."

Tags:

Berita Terkait