Alasan KPCDI Kembali ‘Gugat’ Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Utama

Alasan KPCDI Kembali ‘Gugat’ Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Pemohon ingin mengetahui rasionalitas kenaikan iuran BPJS. MA menganggap uji materi Perpres 64/2020 ini berbeda dengan sebelumnya, sehingga mesti disikapi dengan tanggapan yang baru karena objek permohonannya berbeda.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA Jakarta. Foto: RES
Gedung MA Jakarta. Foto: RES

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) kembali melayangkan uji materi aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ke Mahkamah Agung (MA). Kali ini mereka menguji Pasal 34 dan Pasal 42 Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Sebelumnya, mereka pernah “menggugat” aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan dikabulkan Majelis MA melalui Putusan MA bernomor 7P/HUM/2020. Putusan itu intinya membatalkan Pasal 34 Perpres No.75 Tahun 2019 yang menaikan 100 persen iuran peserta BPJS mandiri kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) untuk seluruh kelas perawatan.

“KPCDI mengajukan uji materi Pasal 34 terkait kenaikan iuran dan Pasal 42 terkait kenaikan denda dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan,” kata Kuasa Hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa saat dihubungi Hukumonline, Selasa (26/5/2020). (Baca Juga: Alasan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

Intinya, Pasal 34 Perpres 64/2020 menyebutkan untuk Januari-Maret 2020 besar iuran mengikuti Perpres No.75 Tahun 2019 yaitu Rp160.000 (Kelas I); Rp110.000 (Kelas II); dan Rp42.000 (Kelas III). Untuk April-Juni 2020 besaran iuran mengikuti amanat putusan MA yakni kembali ke tarif iuran sesuai Perpres No. 82 Tahun 2018 yakni Rp80.000 (Kelas I); Rp51.000 (Kelas II); dan Rp25.500 (Kelas III). Tapi, mulai Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan/naik menjadi Rp 150.000 untuk kelas I; Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.

Khusus kelas III, pemerintah memberi bantuan iuran (subsidi) sebesar Rp16.500 pada 2020 dan menurun menjadi Rp7.000 per bulan pada 2021 mendatang. Dengan begitu, setiap peserta mandiri kelas III sepanjang Juli-Desember 2020 cukup membayar Rp25.500 dan pada 2021 membayar Rp35.000 per bulan. Sedangkan Pasal 42 ayat (6) menyebut denda sebesar 5 persen dari perkiraan biaya paket Indonesian Case Based Groups berdasarkan diagnosa dan prosedur awal setiap bulan tertunggak dengan ketentuan: a. jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan; dan b. besar denda paling tinggi Rp30 juta.  

Rusdianto menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kedua kali melalui Perpres 64/2020 ini sangat tidak memiliki empati mengingat saat ini keadaan serba sulit bagi masyarakat menghadapi dampak pandemi Covid-19. Keputusan pemerintah itu bentuk ketidakadilan dan tidak sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

KPCDI pun ingin melihat apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat, di tengah pandemi Covid-19. Karena saat ini terjadi gelombang PHK besar-besaran, tingkat pengangguran juga naik. “Daya beli masyarakat juga turun. Seharusnya pemerintah mempertimbangan kondisi sosial ekonomi warganya, bukan malah menaikkan iuran secara ugal-ugalan,” sesal Rusdianto.

Ia mengakui permohonan uji materi Perpres No. 64 Tahun 2020 ini dengan Perpres No. 75 Tahun 2019 ini serupa, tapi tak sama. “Serupa karena kenaikan iurannya masih sama. Tak sama karena Perpres No. 64 Tahun 2020 ini lebih memperluas lingkupnya dibanding Perpres sebelumnya. Perpres No. 64 Tahun 2020 mengatur masalah denda yang dulu 2,5 persen menjadi 5 persen,” kata dia.

Hal lain, kata dia, tujuan uji materi Perpres kenaikan iuran ini juga untuk menilai apakah kenaikan tersebut sudah sesuai dengan tanggung jawab BPJS Kesehatan dalam memberi pelayanan kepada seluruh pesertanya? “Harus bisa dibuktikan adanya perubahan perbaikan pelayanan, termasuk hak-hak peserta dalam mengakses obat dan cara pengobatan dengan mudah,” kata dia.

Rusdianto mengingatkan pemerintah seharusnya mendengarkan pendapat MA dalam putusan sebelumnya bahwa akar masalah yang terabaikan yaitu manajemen atau tata kelola BPJS Kesehatan secara keseluruhan. Pihaknya tidak memungkiri ada kenaikan atas biaya pelayanan Kesehatan, tapi sebaiknya benahi dulu tata kelola dan pelayanannya. “Perbaiki dulu kerjanya baru silakan menaikkan, ini ditarik dulu uangnya, tetapi perbaikannya belum konkrit,” kata dia.

Dia mengkritisi dalih pemerintah yang menyatakan tidak ada kenaikan untuk pelayanan kelas 3. Yang menjadi persoalan ketika kelas 3 pada bulan Juni 2021 sudah tida disubsidi lagi pada akhirnya kelas 3 juga akan naik juga. Lalu, bagaimana bagi kelas 1 dan 2 yang dinaikkan hendak turun ke kelas 3, apakah diperbolehkan?  

“Yang jadi soal ketika kelas 1 dan 2 masuk ke kelas 3, apakah rumah sakit akan sanggup menampungnya di kelas 3. Nantinya kelas 1 dan 2 yang turun ke kelas 3 akan mengakibatkan salah subsidi kan? Ini yang saya pikir agak mengherankan, kok bisa mengambil keputusan janggal seperti ini,” kata dia.  

“Padahal BPJS sudah berulangkali disuntikkan dana, tapi tetap defisit. Untuk itu perbaiki dulu internal manajemen mereka, kualitas layanan, barulah kita berbicara angka iuran. Karena meski iuran naik tiap tahun, kami pastikan akan tetap defisit selama tidak memperbaiki tata kelola menajemen.”

Terkait denda dalam Pasal 42, menurutnya denda itu menggambarkan bentuk tindakan hukum yang dilakukan perusahaan untuk mencari keuntungan. Menurutnya, denda itu tidak pantas diterapkan, mengingat dalam UU BPJS, kelembagaan BPJS bukan lembaga yang mencari untung.  

“Ketika ketidakadilan berubah menjadi suatu hukum yang dipositifkan, bagi kami selaku warga negara wajib melakukan perlawanan di muka hukum. Karena apa yang kita lakukan ini untuk mengontrol kebijakan yang menjadi kebutuhan warga negara,” katanya. (Baca Juga: Jalankan Putusan MA, Perpres Ini Turunkan Iuran BPJS Kesehatan, Tapi…)

Menanggapi permohonan ini, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan adanya pengajuan uji materi Perpres yang berbeda ke MA mesti disikapi dengan tanggapan yang baru karena objek permohonannya berbeda. Namun, mengenai apakah Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini memiliki subtansi yang sama dengan Perpres sebelumnya itu tergantung majelis hakim yang akan memeriksa dan memutuskan.

“Nanti kita menunggu tanggapan dari BPJS Kesehatan dan pemerintah apakah subtansi Perpres saat ini sama dengan Perpres sebelumnya, apakah perubahan kenaikan iuran ada dasar penghitungannya. Ketemu angka itu kan atas dasar data, analisis kebutuhan, kondisi sekarang, dan komponen lain, tidak hanya melihat angka kenaikan, tapi ada dasar nominal penghitungannya,” kata Abdullah kepada Hukumonline, Rabu (27/5/2020).

Saat ditanya apakah majelis MA mengacu putusan MA sebelumnya terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Abdullah menegaskan hal tersebut tergantung majelis hakim yang memeriksa uji materi Perpres No. 64 Tahun 2020 ini. “Nantinya, putusannya mungkin bisa sama atau berbeda. Ini masih proses, kita tidak bisa memberi keterangan lebih lanjut.”

Tags:

Berita Terkait