Alasan Jimly Usulkan BPIP Diubah Menjadi DNPP
Berita

Alasan Jimly Usulkan BPIP Diubah Menjadi DNPP

Masukan Prof Jimly ini menjadi pertimbangan dalam penyusunan draf RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana rapat dengar pendapat umum di ruang Baleg DPR. Foto: RFQ
Suasana rapat dengar pendapat umum di ruang Baleg DPR. Foto: RFQ

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Jimly Asshidiqie mengusulkan perubahan nama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi setingkat Dewan Nasional Pembinaan Pancasila (DNPP). Namun, usulan ini memiliki konsekuensi penambahan kewenangan agar dapat mengevaluasi Undang-Undang (UU) dan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD Tahun 1945.

 

“Badan Pembinaan Ideologi Pancasila saya usul diubah menjadi Dewan Nasional Pembinaan Pancasila agar memberi kesan karena kepentingan konstitusi, tapi tugasnya ditambah,” usul Jimly saat rapat dengar pendapat umum terkait penyusunan RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (11/2/2020). Baca Juga: Jimly: Omnibus Law Pertama Semestinya RUU Pemindahan Ibukota Negara

 

Jimly mengusulkan penyusunan draf RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila harus menggunakan metode omnibus law sekaligus membenahi peraturan perundang-undangan terkait. Seperti, UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).  

 

Nantinya, kata Jimly, tugas dan kewenangan DNPP mengevaluasi wujud dan penjabaran nilai-nilai Pancasila dan UUD Tahun 1945 dalam UU dan peraturan perundang-undangan di bawah UU. Salah satu tugas dan kewenangannya dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan pengujuan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU ke Mahkamah Agung (MA).

 

“Keputusan hasil evaluasi mengajukan permohonan pengujian di MK ataupun MA ditetapkan oleh rapat pleno Badan Pengarah DNPP,” kata mantan Ketua MK ini 

 

Jimly menilai saat ini banyak jumlah peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih. Hingga kini, belum ada lembaga yang diberi tugas dan kewenangan berdasarkan UU mengevaluasi dan diberi legal standing menjadi pemohon pengujian UU dan peraturan perundang-undangan di bawah UU secara terprogram dan menyeluruh.

 

“Karena itu, perlu lembaga yang diberikan kewenangan mengevaluasi dan memiliki legal standing. Saya usulkan ada semacam executive review tanpa mengurangi kewenangan MK dan MA.” 

 

Bila DNPP memiliki legal standing mengajukan judicial review ke MK dan MA, maka keputusan bertentangan atau tidaknya peraturan dengan peraturan diatasnya tetap berada di lembaga yudikatif. Artinya, tetap melibatkan lembaga peradilan dalam memutus bertentangan atau tidaknya sebuah peraturan perundang-undangan.

 

“Kita harus memperkuat judicial review di MK dan MA. Caranya, ada lembaga yang diberikan kewenangan uji materi ke MA dan MK. Perlu ada lembaga yang menguji, lembaga ini DNPP,” tegasnya.

 

Jimly yang tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini melanjutkan dampak positif adanya lembaga ini, pembuat peraturan akan berhati-hati dalam menyusun UU atau peraturan di bawahnya. Sebab, bila aturan yang dibuatnya bertentangan dengan Pancasila, maka dapat dievaluasi oleh DNPP dan dibatalkan lembaga peradilan.

 

Merevisi UU MA

Sementara susunan majelis hakim dan tata cara pengajuan permohonan serta hukum acara pemeriksaan pengujian peraturan di bawah UU oleh MA diatur khusus dalam RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila dengan merevisi beberapa ketentuan dalam UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

 

Misalnya, majelis hakim pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terdiri dari 5 sampai dengan 7 orang yang ditetapkan oleh Ketua MA. Komposisi majelis hakim terdiri dari 2 orang hakim agung, ditambah 3-5 orang hakim ad hoc yang ditetapkan selama-lamanya 2x5 tahun oleh presiden atas usul Komisi Yudisial (KY). Syaratnya, sarjana hukum yang berkualitas dan berintegritas; memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945; berpengalaman minimal 20 tahun di bidang legislasi.

 

Kedua, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU oleh MA merupakan proses peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Kemudian menyatakan objek pengujian bertentangan dengan UU, sehingga sejak diputus bertentangan tidak lagi berlaku mengikat.

 

Ketiga, pemeriksaan persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU dilakukan secara terbuka untuk mendengarkan semua pihak terkait dengan materi dan proses pembentukan peraturan perundangan yang diuji. Hal ini mengubah pola persidangan pengujian peraturan di bawah UU terhadap UU yang selama ini dilakukan tertutup di MA.

 

“Selama ini mekanisme pengujian di MA belum diatur sebagaimana hukum acara yang berlaku di MK yang bersifat terbuka dengan mendengarkan semua pihak yang kepentingannya terkait pengujian UU."

 

“Perlu perubahan UU MA sepanjang menyangkut hukum acara pengujian beserta ketentuan mengenai susunan majelis yang diberi tugas dan wewenang mengadili dan memutus perkara pengujian yang memerlukan pengaturan khusus di lingkungan MA,” katanya.

 

Wakil Ketua Baleg DPR Rieke Dyah Pitaloka mengatakan masukan Prof Jimly menjadi pertimbangan dalam penyusunan draft RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Menurutnya, tim di Baleg memang sedang menyusun draftnya. Rencananya tim bakal mempresentasikan draft RUU di depan pimpinan dan anggota Baleg dalam waktu dekat. “Ini akan menjadi masukan dalam penyusunan draft,” katanya.

Tags:

Berita Terkait