Alasan Hukum Pengusaha Makanan Harus Cantumkan Sertifikasi Halal
Berita

Alasan Hukum Pengusaha Makanan Harus Cantumkan Sertifikasi Halal

Makanan tanpa memiliki label halal akan menimbulkan tanda tanya dan umat muslim juga akan menjadi risih sehingga harus dapat dihindari.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Baru-baru ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sumatera Utara (YLKI Sumut) berharap kepada pemilik perusahaan dan pengusaha makanan untuk mencantumkan atau memperpanjang sertifikasi halal terhadap produk yang dijual kepada masyarakat. Imbauan YLKI Sumut itu terkait adanya satu perusahaan makanan di daerah itu yang belum memperpanjang sertifikat halal.

 

"Hal tersebut dilakukan, sebagai bukti bahwa produk makanan yang dipasarkan kepada konsumen terjamin kehalalannya dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," kata Ketua YLKI Sumut, Abubakar Siddik, seperti dikutip Antara di Medan, Sabtu (8/1).

 

Pencantuman label halal pada setiap produk makanan itu, menurut dia, harus dilaksanakan sehingga masyarakat mengetahui secara jelas sebelum membeli barang tersebut. "Ini merupakan ketentuan yang harus dipatuhi para pengusaha penjualan makanan dan jangan dilanggar atau disepelekan," ujar Abubakar.

 

Ia menyebutkan, pengusaha dan industri makanan yang belum menempelkan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus melaksanakannya dengan cara melaporkan kepada lembaga yang berwenang itu.

 

Sebab, makanan tanpa memiliki label halal tersebut akan menimbulkan tanda tanya dan umat muslim juga akan menjadi risih sehingga harus dapat dihindari. "Sehubungan dengan itu, pengusaha makanan tersebut harus secepatnya mendaftarkan produk yang dihasilkan mereka ke MUI," ucapnya.

 

Abubakar mengatakan, sebelum mendapatkan label atau sertifikasi halal tersebut, perusahaan makanan itu harus menyiapkan dokumen yang diperlukan, yakni daftar produk, daftar bahan dan dokumen bahan. Kemudian, matriks produk, manual SJH, diagram alir proses, daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal, dan lain sebagainya.

 

"Perusahaan makanan tersebut harus memenuhi persyaratan itu, untuk mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan MUI," kata Ketua YLKI Sumut itu. (Baca Juga: Ini Persoalan Penerapan Kewajiban Sertifikasi Halal dari Sisi Industri)

 

Seperti diketahui, bagi orang muslim ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat. Maka baiknyalah bilamana di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim dapat terjamin haknya untuk mengetahui halal tidaknya suatu produk.

 

Dikutip dari klinik hukum, keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Bukan itu saja, dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.

 

Yang termasuk “produk” dalam UU JPH adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Jadi, UU JPH telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

 

(Baca Juga: Hati-hati!! Mulai 2019 Produsen Bisa Terjerat Pidana Karena Masalah Sertifikat Halal Produk)

 

Ada beberapa kewajiban bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal dan setelah memperoleh sertifikat tersebut. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib: a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur; b.  memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; c.   memiliki Penyelia Halal; dan d.   melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”).

 

Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib: a. mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; b.  menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal; c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal; d.  memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan e.    melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

 

Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajibannya setelah memperoleh sertifikat halal, dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; atau c.  pencabutan Sertifikat Halal. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait