Alasan Hakim Tunggal Tolak OC Kaligis Jadi Ahli Praperadilan Lukas Enembe
Terbaru

Alasan Hakim Tunggal Tolak OC Kaligis Jadi Ahli Praperadilan Lukas Enembe

Berpotensi konflik interes penasihat hukum merangkap ahli di persidangan. Kepentingan subjektif bakal dominan, walaupun bertujuan penegakan hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Selain itu, terdapat bukti adanya surat kuasa Lukas Enembe sebagai pemohon terhadap OC Kaligis yang belum dicabut hingga persidangan praperadilan berlangsung. Atas dasar itulah Tim Biro Hukum KPK berkeberatan bila OC Kaligis menjadi ahli karena berpotensi tidak netral dengan keahliannya.

Menanggapi alasan Biro Hukum KPK, Hakim Tunggal Praperadilan Hendra Utama Sutardodo pun angkat bicara.  Menurutnya, OC Kaligis yang notabene sebagai kuasa hukum dari Lukas bila menjadi ahli bakal berpotensi adanya konflik kepentingan dalam keterangannya di persidangan. “Bapak menjadi kuasa Lukas Enembe, saya menolak (anda menjadi ahli, red),” ujar Hendra Utama Sutardodo.

OC Kaligis tak kalah sengit. Dia keberatan dengan penilaian hakim tunggal praperadilan yang dianggap memiliki kepentingan dan tak netral bila memberi keterangan sebagai ahli. “Mohon maaf Yang Mulia, dari mana bapak mengatakan saya tidak netral,” kata OC Kaligis.

Kendatipun Hakim Tunggal Praperadilan sudah menjelaskan alasannya, OC  Kaligis keukeuh dengan sikapnya. Keduanya sempat ‘perang’ argumentasi. Tapi begitu, Hakim Hendra Utama Sutardodo tetap menolak OC Kaligis sebagai ahli dan memintanya meninggalkan ruang sidang.

Pengelompokan peran

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menyorot dari aspek hukum acara pidana. Menurutnya dalam hukum acara pidana sudah jelas pengelompokan posisi sebagai penasihat hukum, ahli, maupun saksi fakta. Posisi itu memiliki perannya masing-masing. Nah, ketika ada dua posisi yang saling terikat, sekalipun memiliki kemampuan keilmuan mumpuni mesti memilih antara menjadi penasihat hukum atau menjadi ahli.

“Janganlah masuk ke ruang ada conflict of interest, karena nanti di situ akan terlihat. Kalau dia katakanlah sebagai penasihat hukum atau pembelaanya,  sudah pasti kepentingan subjektifnya dominan, walaupun kepentingan  tujuan penegakan hukumnya,” ujarnya saat berbincang kepada hukumonline, Jumat (28/4/2023).

Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) itu yakin betul dominasi kepentingan subyektif bakal muncul ketika penasihat hukum merangkap menjadi ahli dalam persidangan yang berkaitan dengan kliennya. Ujungnya itu tadi, terdapat konflik kepentingan. Padahal, keterangan ahli di persidangan karena keilmuannya menjernihkan perkara agar terdapat titik terang yang seimbang bagi semua pihak.

Dengan demikian, kalau ahli melekat pada dominasi satu pihak yang terjadi muncul resistensi di persidangan. Makanya sedari awal hukum acara sudah mengatur kualifikasi posisi keterangan fakta, ahli maupun posisi penasihat hukum yang berdiri sendiri.  Menurutnya, menjadi ahli memang tidak diatur dalam KUHAP secara detil. Tapi memang syaratnya memiliki keilmuan mumpuni, pengalaman dan pengetahuan yang cukup. Termasuk strata pendidikan. Kendatipun tidak diatur detil, tapi masuk dalam azaz, logika dan kepatutan. Sebab tak semua UU yang sempurna.

“Makanya kitalah manusia yang melogikan, kemudian ada asas kepatutan, kepantasan. Kamu masuk peran yang mana (penasihat hukum atau ahli, red)?”

Tags:

Berita Terkait