Alasan Evi Novida Gugat ke PTUN dan Pandangan Pakar
Berita

Alasan Evi Novida Gugat ke PTUN dan Pandangan Pakar

Gugatan Evi Novida ke PTUN untuk pembatalan putusan DKPP dan pembatalan Keppres pemberhentian secara tidak hormat dirinya yang diterbitkan Presiden.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Evi Novida Ginting. Foto: DAN
Evi Novida Ginting. Foto: DAN

Langkah Evi Novida Ginting menggugat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan dirinya secara tetap sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) nampaknya semakin sulit. Sebab, Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022. 

 

Keppres ini ditandatangani Joko Widodo pada Senin (23/3) lalu. Pada hari yang sama diketahui Evi sempat menyurati Presiden untuk meminta perlindungan hukum dan menunda penerbitan Keppres menjawab putusan DKPP Nomor 317/PKE-DKPP/X/2019 yang telah memberhentikan Evi secara tetap. 

 

“Memberhentikan dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik M.SP sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan 2017-2022,” demikian salah satu bunyi Keppres yang diterima Evi, Kamis (26/3/2020) kemarin.

 

Evi mengaku terkejut saat mengetahui dirinya diberhentikan secara tidak hormat. Pasalnya dirinya merasa sama sekali tidak melakukan perubahan suara hasil Pemilihan Anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Barat sebagaimana yang diadukan oleh Hendri Makalausc ke DKPP sebelum kemudian aduan tersebut dicabut kembali.

 

“Tentu saya terkejut karena diberhentikan dengan tidak hormat,” ujar Evi saat dihubungi hukumonline, Jumat (27/3/2020). Baca Juga: Respons Putusan Pemberhentian DKPP Evi Novida Siapkan Gugatan

 

Menurut Evi, atas apa yang sedang diupayakannya saat ini, semestinya Presiden mempelajari lebih jauh kasusnya sebelum menindaklanjuti putusan DKPP dengan Keppres. Melalui surat yang dikirimkannya kepada Presiden, Evi menyampaikan dirinya tengah merespon putusan DKPP secara administratif sebagai langkah awal sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Evi juga telah melaporkan putusan DKPP tersebut ke Ombudsman RI karena menilai DKPP dalam melakukan pemeriksaan dan memutus perkara yang menempatkan dirinya sebagai teradu, salah secara prosedur. Pada awalnya, Evi berharap Presiden tidak menutup mata terhadap kasus yang tengah menimpa dirinya saat ini. “Jadi tiga langkah yang saya tempuh itu mempunyai maksud dan tujuan,” ujar Evi. 

 

Untuk itu, Evi menyebutkan dirinya akan tetap melayangkan gugatan ke PTUN sebagai buntut dari dibacakannya putusan DKPP dan terbitnya Keppres oleh Presiden tersebut. Saat ini dirinya tengah membentuk tim kuasa hukum untuk menyiapkan gugatan yang akan dilayangkan ke PTUN. Ia berharap setelah dipersiapkan secara matang, gugatannya ke PTUN bisa diselesaikan sesuai dengan rencana. 

 

Saat ini dirinya dan tim kuasa hukumnya tengah mempelajari putusan DKPP secara mendalam. Sebagaimana yang pernah dijanjikan, selain sejumlah alasan yang pernah diutarakan ke publik, Evi juga akan menyampaikan dalil-dalil lain untuk menguatkan gugatan tersebut. Jumlah dan kedalaman dalil-dalil ini sedang dipersiapkan bersama kuasa hukumnya. 

 

“Tentu harapan kita (gugatan) bisa diterima (dikabulkan). Kami perlu bekerja keras,” lanjutnya Evi.

 

Menurut Evi, pesan paling penting yang ingin ia sampaikan ke publik adalah dirinya sama sekali tidak mengubah suara hasil Pileg Kalbar. Apa yang dirinya bersama anggota KPU telah lakukan dalam kasus terkait aduan Hendri Makalausc ke DKPP adalah hanya menjalankan putusan MK. 

 

Terhadap langkah DKPP yang menafsir kembali putusan MK, menurut Evi merupakan bentuk melampaui kewenangan. Langkah DKPP dalam kasus ini, bagi Evi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi penyelenggara Pemilu ke depan dalam memperlakukan putusan MK. 

 

”Harusnya dia (DKPP) tidak melakukan tafsir, sehingga ke depan ketika semua penyelenggara Pemilu menjalankan putusan MK, dia tidak lagi dikenai sanksi,” tegas Evi.

 

Evi mengungkapkan target dari gugatan ke PTUN yang akan ia layangkan adalah untuk pembatalan putusan DKPP dan pembatalan Keppres pemberhentian secara tidak hormat dirinya yang diterbitkan Presiden. 

 

“Yang perlu dipahami, ini bukan jabatan. Ini soal kewenangan. Soal DKPP bagaimana menjalankan tugasnya. Bagaimana dia mengambil keputusan, bagaimana mengelola pemeriksaan. Kan harus mengikuti prosedur yang sudah ada,” terang Evi.

 

Belum tentu tepat

Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera  Bivitri Susanti menyebutkan tidak ada salahnya jika Evi mencoba menggugat putusan DKPP ke PTUN, meskipun hal itu belum tentu tepat. Namun langkah yang paling tepat yang bisa dilakukan adalah menggugat Keppres yang diterbitkan Presiden ke DKPP karena Keppres merupakan produk pejabat tata usaha negara.

 

Bivitri mengungkapkan setidaknya terdapat sejumlah alasan yang bisa digunakan sebagai dalil menggugat Keppres pemberhentian Evi secara tidak hormat yang diterbitkan Presiden. Pertama, dari segi prosedur, Hendri Makalausc sebagai pengadu sudah mencabut pengaduannya. 

 

“Kalau dalam hukum acara, kita bicara hukum acara ini karena kan DKPP itu lembaga etik. Harusnya dalam hukum acara kalau sudah menarik laporan sudah tidak bisa diproses,“ terang Bivitri. 

 

Kedua, menurut Bivitri dalam proses di lembaga etik manapun yang namanya teradu harus diberikan kesempatan yang sama untuk memberikan pembelaaan. Terkait hal ini, sebagaimana pengakuan Evi, dirinya tidak banyak memiliki kesempatan untuk membela diri karena tidak hadir dalam pemanggilan akibat sedang sakit. 

 

Ketiga, Bivitri mengajukan pertanyaan apakah persoalan Evi ini benar wilayah etik atau bukan? Menurut Bivitri, sebenarnya yang dilakukan KPU adalah kesalahan penafsiran putusan MK. Karena itu, kalaupun terdapat kesalahan penafsiran, pertanyaan berikutnya KPU boleh salah atau tidak? Menurut Bivitri, sebenarnya bisa saja orang melakukan kesalahan asal bukan dengan cara melanggar kode etik perilaku.

 

”DKPP itu kan lembaga etik bukan lembaga seperti Bawaslu. Dia harus mengecek apakah ada pelanggaran etik atau tidak. Contohnya apa? Misalnya kalau Bu Evi ketahuan dia makan-makan dulu dengan pihak yang diuntungkan. Tapi ini kan yang dianggap salah adalah penafsiran terhadap putusan MK,” terang Bivitri.

 

Keempat, menurut Bivitri, penafsiran KPU merupakan keputusan lembaga. Untuk itu ia mempertanyakan kelayakan langkah DKPP yang hanya memecat satu orang anggota KPU, sementara keputusan KPU diambil secara kolektif kolegial. 

 

Kelima, Bivitri menilai bentuk putusan sidang dewan etik seharusnya bertingkat. Sepanjang pengetahuan Bivitri, Evi belum pernah dijatuhi teguran keras sebelumnya, namun langsung dipecat oleh DKPP. ”Ini juga saya kira harus ditelaah lebih jauh apakah DKPP sudah menjalankan sidang etik itu dengan tepat?”

Tags:

Berita Terkait