Alasan Dua Fraksi Tolak Pengesahan RUU MD3 menjadi UU
Berita

Alasan Dua Fraksi Tolak Pengesahan RUU MD3 menjadi UU

Dinilai melanggar konstitusi dan putusan MK No. 117 Tahun 2009. Selain itu, beberapa perubahan revisi UU MD3 ini diantaranya rumusan pemanggilan paksa oleh MKD, pemanggilan MKD bagi WNI/WNA, pengaturan hak angket lebih ketat, hak imunitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES

Paripurna DPR akhirnya mengesahkan Revisi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3) menjadi UU. Pengesahan RUU tersebut menjadi UU diwarnai aksi walk out dua fraksi partai. Keduanya adalah Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fraksi yang menolak dan intinya meminta penundaan pengesahan lantaran masih terdapat substansi yang perlu diperdalam.

 

Pelaksana tugas Ketua Fraksi Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan penolakan pengesahan terhadap RUU MD3 menjadi UU tidak didasari suka atau tidak suka. Sebab fraksi partainya memperhatikan dengan seksama pembahasan RUU tersebut. Menurutnya, masih terdapat substansi pasal perubahan dalam RUU tersebut untuk dilakukan pembahasan lebih jauh, ketimbang buru-buru mengesahkan menjadi UU.

 

Menurutnya, melalui revisi UU MD3 ini hanya menciptakan lowongan kursi yang bakal diisi oleh partai-partai tertentu berdasarkan perolehan suara. Penambahan kursi pimpinan tersebut dipandang tidak memiliki korelasi terhadap kinerja DPR, MPR maupun DPD. Sebaliknya, Nasdem mengusulkan revisi terhadap keseluruhan substansi UU MD3 untuk dilakukan pembahasan kembali.

 

Keputusannya kami menolak dan mempertimbangkan untuk meninggalkan ruang rapat,” ujarnya. Baca Juga: Pergantian Ketua DPR Tak Menunggu Revisi UU MD3 Selesai

 

Lebih lanjut anggota Komisi XI DPR itu menuturkan semestinya revisi dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja DPR dan MPR. Sehingga mampu membangun komunikasi dan kerja sama antar lembaga. Namun sayangnya, terdapat substansi pasal yang dianggap bakal menuai polemik.

 

Yakni, menyoal penambahan jumlah kursi pimpinan DPR dan MPR. Termasuk tata kelola pembahasan anggaran konsultasi dengan pimpinan DPR. Begitu pula dengan hak imunitas anggota DPR yang dapat disalahtafsirkan oleh masyarakat. Karena itu, alasan ini cukup menjadi dasar penundaan atas pengesahan RUU MD3 menjadi UU.

 

Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan alasan walk out lantaran forum paripurna memaksakan pengesahan RUU MD3 yang dirasa masih banyak substansi bermasalah. Partainya, kata Arsul, tak mau bertanggung jawab atas pengambilan keputusan terhadap RUU MD3 menjadi UU ini.

 

“Kami tidak mau bertanggung jawab mengesahkan dan menyetujui sebuah RUU menjadi UU yang secara ‘telanjang bulat’ itu melanggar konstitusi, terutama melanggar hak konstitusional DPD,” sebutnya.

 

Menurutnya, muatan materi RUU MD3 juga melanggar putusan MK, khususnya putusan MK No. 117 Tahun 2009. Baginya, pasal yang mengatur penambahan jumlah kursi pimpinan MPR masih menjadi sorotan. Sebab, sebanyak 3 kursi pimpinan MPR bakal diberikan ke beberapa partai berdasarkan perolehan suara dalam Pemilu 2014 sebelumnya.

 

Apabila persoalan sebatas penambahan kursi pimpinan DPR atau MPR ataupun hak imunitas anggota dewan, kata Arsul, tidaklah urgent untuk segera disahkan menjadi UU. Karena itu, mestinya forum paripurna menunda dan mengkaji lebih dalam hingga masa sidang berikutnya. “Jadi tidak ada urgensinya untuk terburu-buru. Apalagi pasal-pasal yang dikritisi oleh masyarakat yang kepentingannya hanya saat ini,” ujar anggota Komisi III DPR itu.

 

Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati menambahkan Pasal 427 A huruf c menyebutkan “ Bahwa penambahan jumlah wakil ketua MPR diberikan kepada partai yang memperoleh suara pemilu terbanyak pada 2014 urutan ke satu, ketiga dan keenam.” Menurutnya, pasal tersebut memalukan. Sebab, selain dibahas sejak 2014, RUU tersebut hanya berlaku selama 20 bulan ke depan. Ironisnya, hanya mengakomodir beberapa kepentingan partai.

 

Tetap disahkan

Setelah mendengarkan penolakan kedua fraksi partai, Wakil Ketua DPR Fadli Zon akhirnya mengetuk palu sidang sebagai pertanda persetujuan atas RUU MD3 ini menjadi UU. Pasalnya, mayoritas forum paripurna yang hadir menyetujui materi dan muatan RUU MD3 disahkan menjadi UU. Dengan mengesahkan RUU tersebut menjadi UU, maka Presiden Joko Widodo menandatangani UU ini dan memasukan dalam lembaran negara.

 

Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas menambahkan beberapa substansi dalam RUU MD3. Yakni soal penambahan pimpinan MPR dan DPR. Sementara jumlah kursi pimpinan DPD tidak bertambah. Kemudian soal rumusan pemanggilan paksa oleh MKD terhadap pejabat atau orang serta melaporkan ke pihak kepolisian. Pengaturan hak angket pun kembali diatur lebih ketat.

 

Begitu pula menghidupkan kembali badan akuntabilitas negara yang sebelumnya sempat dihilangkan. Kemudian, pengaturan mekanisme pemanggilan terhadap warga negara Indonesia dan asing oleh Panitia Khusus (Pansus). Hak imunitas pun kembali direvisi dengan melakukan pengaturan bagi anggota dewan.

Tags:

Berita Terkait