Alasan Dua Advokat yang Terjun di Tim Hukum Capres-Cawapres
Utama

Alasan Dua Advokat yang Terjun di Tim Hukum Capres-Cawapres

Bukan sebagai partisan, tapi para advokat ini sukarela terlibat dalam Tim Hukum pasangan capres-cawapres.

CR 29
Bacaan 3 Menit
Ari Yusuf Amir dan Annisa Ismail. Foto: Kolase
Ari Yusuf Amir dan Annisa Ismail. Foto: Kolase

Tak sedikit advokat maupun lawyer yang turut serta memberikan dukungan dengan masuk dalam Tim Hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (Cawapres-Cawapres). Bahkan advokat tersebut secara sukarela tidak menerima bayaran dari profesinya ketika tergabung dalam satu tim hukum salah satu capres-cawapres.

Salah satu yang fenomenal ketika pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), mendeklarasikan Tim Hukum Nasional (THN) yang diklaim didukung lebih dari 1.000-an advokat dan tokoh senior di bidang hukum. THN AMIN dipimpin advokat senior Ari Yusuf Amir sebagai Ketua Umum dan Thorik Thalib sebagai Sekretaris Jenderal.

Bahkan sejumlah nama  pakar, ahli, dan praktisi hukum juga mengisi kepengurusan organisasi THN AMIN. Sebut saja mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva sebagai Ketua Dewan Penasihat. Maklum, profesi hukum tak lepas dari semua lini kehidupan masyarakat.

“Begitupun kita sebagai lawyer punya peranan penting untuk ikut terlibat memberikan bantuan hukum bagi mas Anies yang sudah meminta kita bergabung sejak 2022 atau jauh sebelum namanya disebut sebagai calon presiden,” ujar Ari Yusuf Amir saat berbincang dengan Hukumonline, Rabu (14/2/2024).

Baca juga:

Hukumonline.com

Ari Yusuf Amir saat berbincang dengan Hukumonline. Foto: RES

Menanggapi istilah advokat partisan, Ari Yusuf berpandangan sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang berhak memilih dan dipilih, seorang advokat pun diperkenankan untuk memiliki preferensi politik. Tetapi advokat tetap perlu menjaga independensi dan etika pada saat mewujudkan preferensi politik tersebut, sebagaimana termaktub dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Artinya, ketika memutuskan untuk bergabung dengan salah satu tim capres-cawapres, mereka tentunya tidak mengharapkan bayaran sebagaimana profesinya. Ari menjelaskan tak kurang dari 2.000 advokat, akademisi, aktivis maupun jurnalis di bidang hukum dari seluruh Indonesia, secara sukarela memberikan dukungannya kepada THN AMIN.

“Dengan pemahaman UU Advokat itu ketika kaitannya menangani perkara, jadi dalam proses penanganan perkara secara profesi kita berdiri independen. Namun ketika masuk menjadi bagian dari salah satu paslon atau caleg itu sah-sah saja, tak ada yang melarang,” katanya.

Ari yang juga menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (DPP IKA UII) itu mengakui ketika advokat yang memutuskan bergabung dalam partai politik seharusnya cuti dari profesi advokat. Bahkan saat seorang advokat menjadi anggota legislatif mesti melepaskan sementara profesinya.

“Sehingga tidak bisa merangkap jadi lawyer,” imbuhnya.

Partisipasi advokat dukungan secara hukum

Terpisah, Annisa Ismail yang tergabung kedalam Direktorat Sengketa Pilpres Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud. Menurutnya premis advokat partisan perlu untuk dilihat kembali, karena pemilu didasari UU dan hukum di dalamnya. Dengan begitu bakal terkesan aneh jika advokat tidak terlibat memberikan bantuan hukumnya kepada pasangan capres-cawapres maupun caleg.

“Jadi keterlibatan kita untuk mengawasi pelaksanaan pemilu, di mana keahlian kita terbiasa membaca hukum dan UU serta berpraktek melaksanaannya. Sehingga naturally profesi yang biasa mengamalkan itu ikut berpartisipasi memberikan support hukum,” ujarnya kepada Hukumonline.

Hukumonline.com

Annisa Ismail usai melakukan pencoblosan surat suara di TPS. Foto: RES

Adapun agar tidak mengesankan profesi advokat berpihak pada kelompok politik tertentu. Annisa mengatakan bahwa seorang advokat tidak boleh memberikan perlakuan diskriminatif kepada kliennya. Hal itu juga disebutkan secara tegas  dalam konteks larangan diskriminatif di Pasal 18 ayat (1) UU 18/2003.

Apalagi secara kode etik profesi advokat, tak boleh membedakan klien berdasarkan preferensi politiknya. Misalnya, klien memilih calon tertentu dan berseberangan dengan pilihan sang advokat, sehingga terjadi perbedaan layanan hukum.

“Itu tidak boleh. Sebab irisan hukum dengan politik itu ada, tapi kita perlu menjaga independensi pribadi,” imbuhnya.

Disamping itu, Annisa juga mengatakan mayoritas advokat yang ikut terlibat dalam Tim Hukum TPN Ganjar-Mahfud memberikan bantuannya secara cuma-cuma. “Personal saya di sini sebagai relawan dan kebanyakan advokat yang tergabung itu terdorong untuk memberikan bantuan serta keahlian yang bisa dilakukan untuk mensupport tim hukum ini,” pungkasnya.

Hukumonline sudah berupaya menghubungi beberapa advokat yang tergabung dalam tim hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran. Namun sayangnya, belum juga mendapat respons.

Tags:

Berita Terkait