Aktivis HAM Dipaksa Swab Test, Ada Indikasi Kepentingan di Luar Isu Kesehatan
Berita

Aktivis HAM Dipaksa Swab Test, Ada Indikasi Kepentingan di Luar Isu Kesehatan

Ditengarai sebagai modus baru untuk membungkam aktivis HAM dan pejuang lingkungan hidup. Komnas HAM akan menindaklanjuti kasus ini dengan melakukan pemantauan dan penyelidikan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pemerintah terus melakukan upaya untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Salah satunya menerapkan swab test sebagai bagian penerapan protokol kesehatan. Namun, ada kejadian aneh dialami 3 aktivis HAM dan lingkungan hidup Samarinda karena dipaksa untuk swab test, dijemput paksa ke RSUD IA Moeis, Samarinda, Kalimantan Timur.

Peristiwa yang terjadi 29-31 Juli 2020 itu dialami Direktur Walhi Samarinda Yohana Tiko, dan 2 advokat publik LBH Samarinda yakni Fathul Huda dan Bernard Marbun. Yohana menerangkan pada Rabu (29/8) ada sekelompok yang mengaku petugas dinas kesehatan kota Samarinda mengambil random sampling di kantor Walhi dan Pokja-30 yang kebetulan bersebelahan.

Sebelum menjalani swab test, Yohana terlebih dulu meminta identitas dan surat tugas aparat tersebut, tapi tidak diberikan dan malah membentak. Besoknya, sekelompok orang mengaku aparat kembali lagi untuk menyemprot disinfektan, lagi-lagi mereka tidak dapat menunjukan identitas diri dan surat tugas. Selain menyemprot disinfektan mereka juga melakukan penggeledahan.

Pada saat hari raya Idul Adha, Jumat (31/8), Yohana dan dua rekannya dari LBH Samarinda itu dijemput petugas untuk dibawa ke RSUD IA Moeis, Samarinda. Yohana dan rekannya sempat bertanya kepada petugas soal hasil swab test, tapi tidak ada jawaban dari petugas tersebut. Begitu pula setibanya di RS IA Moeis, tidak ada satu pun petugas yang bisa menunjukan hasil swab test Yohana dan 2 rekannya. Alhasil mereka ditelantarkan di parkiran RS.

“Ini upaya kriminalisasi dan pembungkaman gaya baru dengan memanfaatkan pandemi Covid-19 sebagai dalih,” kata Yohana dalam diskusi secara daring, Sabtu (1/8/2020). (Baca Juga: Menkes Terbitkan Keputusan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19)

Yohana yakin swab test abal-abal itu dilakukan sebagai upaya yang arahnya bisa mengkriminalisasi aktivis HAM dan lingkungan hidup. Dia yakin ini terkait dengan advokasi yang dilakukan Walhi dan Koalisi yang tergabung dalam Pokja-30. Sejumlah advokasi yang dillakukan antara lain tentang putusan terkait tumpahan minyak di Balikpapan, menolak RUU Cipta Kerja, RZWP3K Kalimantan Timur karena tidak melindungi wilayah tangkap nelayan, dan sejumlah kasus lain dimana warga dikriminalisasi perusahaan.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari menilai ini modus baru pembungkaman terhadap aktivis HAM. Jika sebelumnya melalui kriminalisasi, peretasan, pembubaran diskusi, dan pengintaian, sekarang menggunakan tuduhan positif Covid-19. “Tuduhan ini sebagai pintu masuk untuk melakukan pembatasan HAM dan dampaknya pada aktivitas organisasi (advokasi, red),” tudingnya.

Era menilai swab test yang dilakukan terhadap 3 aktivis itu tidak sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam sejumlah aturan. Misalnya, Kepmenkes No.HK.01.07/Menkes/328/2020 Tahun 2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi. Dalam kasus ini yang di-swab test adalah beberapa orang dari kantor Walhi Samarinda dan Pokja-30.

Era yakin swab test acak terhadap 3 aktivis HAM itu tidak ditujukan untuk kesehatan, tapi ada kepentingan lain. Dalih penjemputan dilakukan karena situasi sosial, menurut Era harus dicermati siapa yang menciptakan situasi sosial itu karena dengan peristiwa ini ada upaya untuk menjauhkan aktivitas Walhi dan Pokja-30 dari masyarakat.

Selain itu, Era khawatir arahnya nanti kriminalisasi terhadap aktivis HAM dengan menggunakan berbagai aturan terkait Covid-19, seperti Maklumat Kapolri. “Sejak awal kebijakan penanganan Covid-19 yang diterbitkan pemerintah tidak menggunakan pendekatan HAM, tapi keamanan sehingga rawan penyalahgunaan,” ujarnya.

Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, mengatakan lembaganya akan menindaklanjuti peristiwa ini. Dari penuturan yang disampaikan lembaga yang mengalami peristiwa ini diperoleh informasi bahwa mereka tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya oleh oknum petugas yang mengaku menjalankan penanganan Covid-19.

Anam melihat ada beberapa persoalan serius dalam peristiwa ini, antara lain indikasi kuat pelanggaran protokol kesehatan. Kemudian indikasi pemaksaan proses dan hasilnya secara tertulis tidak diperoleh Walhi Samarinda dan Pokja-30. Bahkan ada indikasi kuat proses ini dilakukan tanpa tujuan untuk kesehatan ketika menyemprot disinfektan dan penjemputan paksa.

Dia menilai peristiwa ini pada 3 poin yang menjadi catatan. Pertama, penanganan Covid-19 memang dibutuhkan, tapi ini tidak boleh dilakukan untuk kepentingan diluar kesehatan dan harus dilakukan dengan protokol yang ketat. Kedua, terkait proses yang dilakukan seperti random sampling, penjemputan, dan hasil swab yang belum diketahui hasilnya, diduga kuat ini penjemputan paksa yang kepentingannya bukan untuk isu kesehatan.

Ketiga, latar belakang Walhi dan Pokja-30 adalah organisasi masyarakat sipil yang selama ini bekerja dengan menyampaikan kritik yang konstruktif dalam gerakan HAM terutama di wilayah Kalimantan Timur. Anam curiga peristiwa ini terkait advokasi yang dilakukan Walhi dan Pokja-30.

Anam menegaskan jika ditemukan bukti penyalahgunaan kewenangan dengan menggunakan instrumen penanganan Covid-19, Komnas HAM akan meneruskan pada mekanisme penegakan hukum agar diambil tindakan tegas. “Komnas HAM akan mendalami perkara ini dengan pemantauan dan penyelidikan."

Tags:

Berita Terkait