Aktivis Anti Korupsi Uji UU Pemda
Berita

Aktivis Anti Korupsi Uji UU Pemda

Pemohon menilai Pasal 36 UU Pemda merupakan bentuk intervensi dari negara (pemerintah) yang menghambat pemberantasan korupsi.

ASh
Bacaan 2 Menit
Aktivis Anti korupsi uji UU Pemda ke MK. Foto: SGP
Aktivis Anti korupsi uji UU Pemda ke MK. Foto: SGP

Fakta lambannya proses pemeriksaan kepala daerah khususnya dalam perkara korupsi yang mensyaratkan izin tertulis dari presiden mendorong penggiat anti korupsi berniat menguji Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Beleid mengatur prosedur pemeriksaan izin kepala daerah yang terlibat kasus hukum oleh presiden itu secara resmi telah didaftarkan di Kepaniteraan MK. Tercatat sebagai pemohon yaituIndonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari (Dosen FH Andalas), Teten Masduki, dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM).

 

Salah satu kuasa hukum pemohon, Alvon Kurnia Palma menilai Pasal 36 UU Pemda bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu, Pasal 36 itu bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, equality before the law, nondiskriminasi, dan peradilan cepat.       

 

“Aturan izin pemeriksaan kepala daerah itu bertentangan dengan prinsip independent of judiciary (adil, imparsial, dan bebas campur tangan), nondiskriminasi,” kata Alvon kepada wartawan di gedung MK Jakarta, Rabu (28/9).

 

Misalnya, Pasal 36 ayat (1) berbunyi, “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.”

 

Alvon mengatakan tak ada perbedaan antara maling ayam dan kepala daerah yang diduga maling uang negara. “Ketika pelaku maling ayam tak perlu ada izin tertulis, tetapi kenapa kepala daerah maling uang negara harus izin presiden, ini bentuk pelanggaran prinsip nondiskriminasi,” kata Alvon.

 

Ia mencontohkan salah satu kasus yang terkait dengan M Nazaruddin, mantan bupati di Sumatera Barat melarikan diri lantaran izin pemeriksaan belum keluar. “Dari kasus ini membuat proses penegakan hukum dalam kasus korupsi menjadi terhambat karena ada semacam justice delay yang berpotensi merugikan hak konstitusional para pemohon yang concernterhadap pemberantasan korupsi.”

 

Karena itu, pihaknya meminta MK agar membatalkan/menghapus Pasal 36 UU Pemda itu karena bertentangan Pasal Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Menyatakan Pasal 36 UU Pemda tidak memiliki kekuatan mengikat,” pintanya.       

 

Kuasa hukum lainnya, Uli Parulian Sihombing menilai penerapan Pasal 36 UU Pemda merupakan bentuk intervensi dari negara (pemerintah) yang mengganggu proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan (penegakan hukum). “Kita berharap MK bisa melihat persoalan ini, ini juga harus disadari juga oleh pemerintah yang secara politik bisa merevisi pasal itu.”                 

 

Emerson menambahkan klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan 164 permohonan izin tertulis untuk pemeriksaan kepala daerah dalam kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga Agustus 2011 belum dapat dikatakan sebagai upaya percepatan pemberantasan korupsi. Sebab, faktanya proses keluarnya izin pemeriksaan itu memakan waktu yang lama.

 

“Mekanisme izin ini juga bertentangan dengan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi karena menghambat upaya pemberantasan korupsi,” kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Juntho.

 

Sebelumnya, Pasal 36 UU Pemda ini juga tengah diuji oleh sejumlah warga negara yakni Windu Wijaya(mahasiwa S-2) dan Anwar Sadat (asisten advokat) yang menguji Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda itu. Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional pemohon karena bersifat diskriminatif dan melanggar asas equality before the law.

Tags: