Akses Terhadap Salinan Putusan dan Berkas Perkara Jadi “Area Kritis” Pungli di Pengadilan
Utama

Akses Terhadap Salinan Putusan dan Berkas Perkara Jadi “Area Kritis” Pungli di Pengadilan

Seharusnya menjadi peringatan bagi Mahkamah Agung bahwa terdapat layanan di pengadilan yang tingkat korupsinya tinggi.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) merilis hasil penelitiannya Senin (20/11). Foto: DAN
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) merilis hasil penelitiannya Senin (20/11). Foto: DAN

Hasil survei Global Corruption Barometer yang dilakukan terhadap responden dari seluruh dunia, menempatkan lembaga peradilan pada posisi ketiga sebagai Lembaga terkorup. Di Indonesia sendiri, laparan mengenai praktik suap terhadap institusi peradilan telah mengalami peningkatan sebanyak 20%. Praktik suap tersebut tidak hanya dilakukan terhadap substansi perkara, melainkan terhadap aspek di luar perkara seperti layanan lembaga peradilan terhadap masayarakat.

 

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dalam penelitiannya yang dirilis Senin (20/11) menyebutkan, dalam hal pelayanan lembaga pengadilan terhadap masyarakat di wilayah DKI Jakarta, terdapat beberapa area kritis yang kerap ditemukan adanya praktik pungli. “Yang paling critical itu dua,” ujar Ketua Harian MaPPI, Choky Ramadhan, kepada hukumonline sesaat setelah merilis hasil penelitian MaPPI, di Jakarta.

 

Dua hal yang dimaksud adalah akses masyarakat terhadap salinan putusan dan salinan berkas perkara. Dari 327 responden yang diwawancarai, sebanyak 195 orang mengeluhkan menemukan hambatan dalam mengakses salinan putusan. Kemudian, sebanyak 136 responden mengeluhkan sering mendapatkan hambatan serupa dalam mendapatkan salinan berkas perkara.

 

Hambatan-hambatan yang dimaksud adalah adanya penarikan pungutan liar oleh oknum petugas yang melakukan penarikan di luar nominal, sebagaimana yang telah ditentukan.  “Standar yang ditetapkan (untuk memperleh salinan putusan) adalah Rp300 perlembarnya. Tapi mereka membayar mayoritas Rp500 ribu sampai Rp1 juta atau sekitar 63%. Sementara 20 sekian persen itu membayar melebihi Rp1 juta,” ujar Choky.

 

Hak masyarakat untuk memparoleh salinan putusan dan salinan berkas perkara merupakan bagian dari layanan keterbukaan informasi di pengadilan. Secara normatif, Mahkamah Agung sudah menjamin hak masyarakat terhadap kedua jenis layanan tersebut melalui SK-KMA No. 1-114/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan yang mewajibkan pengadilan untuk membuka akses publik terhadap informasi di pengadilan. Ketentuan ini juga secara khusus mengatur mengenai akses terhadap putusan pengadilan sebagai jenis informasi yang harus disediakan setiap saat.

 

(Baca Juga: Soal Pengiriman Salinan Putusan Pengadilan, LeIP Gelar Survei)

 

Selain itu, terkait pelayanan untuk mendapatkan salinan putusan dan mendapatkan berkas perkara, di dalamnya termasuk juga layanan untuk mendapatkan surat dakwaan, surat tuntutan, berita acara persidangan, penetapan, putusan, dan dokumen lainnya yang digunakan dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, baik perkara yang sudah selesai atau yang masih berjalan pemeriksaannya.

 

Selain hambatan dalam mengakses salinan putusan dan salinan berkas perkara, penelitian MaPPI juga menyebutkan terdapat 128 responden yang mengeluhkan menemukan hambatan saat hendak melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Sebanyak 120 responden mengeluhkan kesulitan untuk memperoleh hakim yang berintegritas. Sementara itu, untuk pelayanan pendaftaran upaya hukum, ditemukan sebanyak 46 orang responden yang mengeluhkan adanya hambatan.

 

Hal lain yang menarik dari hasil penelitian MaPPI adalah ditemukannya sikap permisif dari masyarakat pengguna layanan publik pengadilan terhadap praktik pungli di pengadilan. Mayoritas responden menyatakan bahwa pernah memberikan uang atau imbalan tidak resmi kepada petugas saat mendaftarkan perkara di pengadilan, sebanyak 202 responden atau 72,92% (paling tinggi diantara pungli lainnya). Hal ini mengindikasikan pandangan dari responden yang cenderung merasa wajar ketika membayar pungli.

 

(Baca Juga: MA Perketat Pengawasan Proses Minutasi Putusan)

 

Dari 202 responden tersebut, hanya 61 orang atau 30,2% yang merasa mendapatkan hambatan saat membayar pungli. Sebanyak 136 orang atau 67,3% tidak merasa mendapatkan hambatan meskipun sudah memberi pungli kepada oknum petugas saat pendaftaran perkara di pengadilan. Hal ini mengindikasikan gejala permisif di kalangan responden cukup tinggi.

 

Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi Mahkamah Agung bahwa terdapat layanan di pengadilan yang tingkat korupsinya tinggi, namun masyarakat memandangnya sebagai hal yang lumrah.

 

Menanggapi sikap permisif masyarakat ini, Wakil Sekertaris Jenderal DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Rivai Kusumanegara, mengamini adanya hal tersebut. Ia menilai karena seringnya praktik tersebut terjadi di pengadilan sehingga menyebabkan timbulnya persepsi pengguna pengadilan bahwa praktik tersebut menjadi lumrah. Namun Rivai menegaskan, dengan adanya hasil riset MaPPI, seharusnya menyadarkan semua pihak.

 

“Kalau kita ingin memperbaiki layanan di pengadilan ini merupakan persoalan yang seharusnya dibenahi,” ujar Rivai kepada hukumonline di acara yang sama.

 

Praktik pungli yang terjadi di pengadilan, otomatis membebani masyarakat saat sedang berperkara di pengadilan. Rivai mensiyalir hal ini menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat membawa persoalan yang dihadapainya ke pengadilan. selain biaya-biaya resmi yang akan dikenakan, marak juga biaya tidak resmi yang sangat membebani, terutama untuk kalangan masyarakat ekonomi lemah.

 

Untuk itu, Rivai menegaskan agar advokat lebih peduli dan mendukung program perbaikan administrasi di pengadilan. Hal ini tentu saja untuk membangun citra pengadilan yang lebih baik dan dapat diparcaya oleh masyarakat pencari keadilan.

 

Ke depan, Rivai juga mendorong penyelenggaraan administrasi pengadilan bisa lebih efektif dan jauh dari praktik pungli. Ia menilai bahwa praktik administrasi pengadilan yang panjang, tidak hanya berdampak terhadap inefektivitas, tapi juga menjadi area rawan pungli sehingga sudah sebaiknya untuk dipangkas.

 

“Kita sudah memotret beberapa administrasi yang sebenarnya tidak perlu misalnya pendaftaran surat kuasa, kemudian permintaan surat keterangan inkracth, dan beberapa produk-produk surat yang menurut kita sebenarnya gak perlu ada,” tandasnya. 

 

Tags:

Berita Terkait