Akses Informasi HGU Ditutup, Potensi Hambat Penyelesaian Konflik Agraria
Berita

Akses Informasi HGU Ditutup, Potensi Hambat Penyelesaian Konflik Agraria

Karena tumpang tindih perizinan memicu terjadinya konflik agraria. Dalam banyak kasus, masyarakat kesulitan mendapat data dan informasi tentang HGU perusahaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemanfataan lahan HGU oleh korporasi. Foto: SGP
Ilustrasi pemanfataan lahan HGU oleh korporasi. Foto: SGP

Pembenahan tata kelola industri sawit menjadi salah satu PR yang terus dikerjakan pemerintah. Tak jarang kebijakan yang diterbitkan itu menuai polemik, salah satunya surat yang diterbitkan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Musdhalifah Machmud. Surat tertanggal 6 Mei 2019 itu ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan Pimpinan Perusahaan di sektor Kelapa Sawit.

 

Surat bersifat segera itu memuat tentang data dan informasi kebun kelapa sawit. Pada poin 3 surat itu menyebut kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mengklasifikasikan serta menetapkan data dan informasi mengenai hak guna usaha (HGU) kebun kelapa sawit (nama pemegang, peta, dan lokasi) sebagai informasi yang dikecualikan untuk diakses oleh pemohon informasi publik. Selanjutnya di poin 4 surat ini, pada intinya mengajak para pihak (DMSI, GAPKI, dan pimpinan perusahaan sektor kelapa sawit) mendukung kebijakan ini.

 

“Sehubungan dengan hal tersebut, kami harapkan Saudara untuk dapat pula ikut serta dalam mendukung kebijakan untuk melindungi data dan informasi kelapa sawit tersebut dan diharapkan untuk tidak melakukan inisiatif membuat kesepakatan dengan pihak lain (konsultan, NGO, multilateral agency, dan pihak asing) dalam pemberian data dan informasi yang terkait kebun kelapa sawit,” begitu isi poin 4. Baca Juga: Kebijakan Kemenko Perekonomian Tutup Informasi HGU Menabrak Putusan MA

 

Surat ini menuai kritik dari kalangan organisasi masyarakat sipil karena dinilai bertentangan dengan Putusan MA bernomor 121 K/TUN/2017 tertanggal 6 Maret 2017. Intinya menyebut dokumen administratif yang berkaitan dengan HGU tidak termasuk informasi yang dikecualikan untuk diberikan kepada publik sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) huruf c UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

 

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana, berpendapat data dan informasi HGU layaknya bisa diakses publik. Hal ini sebagaimana mandat Pasal 6 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyebut semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Karena itu, data dan informasi terkait HGU sepatutnya dibuka kepada publik.

 

“Tidak terbukanya data HGU bakal menimbulkan dampak serius bagi lingkungan hidup,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (9/5/2019).

 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati mengingatkan Pasal 65 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan antara lain setiap orang berhak mendapatkan akses informasi dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Atas dasar itu, perempuan yang disapa Yaya itu berpendapat perusahaan wajib membuka dokumen HGU karena berkaitan dengan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

 

Yaya mengatakan pemerintah perlu melihat praktik baik keterbukaan informasi di negara lain seperti Amerika Serikat (AS). Komisi Sekuritas dan Bursa AS mewajibkan seluruh perusahaan yang terdaftar untuk melampirkan semua informasinya seperti kontrak bisnis. Berbagai informasi itu bisa diakses oleh publik. Keterbukaan informasi khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit ini penting untuk penyelesaian konflik agraria dan mencegah kerusakan lingkungan hidup.

 

Walhi mencatat izin HGU seluas 1,8 juta hektar yang didominasi perkebunan sawit berada di kawasan kesatuan hidrologis gambut (KHG). Periode 2017-2018 terjadi peningkatan titik panas pada ekosistem gambut dari 346 menjadi 3.427 titik panas. Melansir data Kantor Staf Presiden (KSP) sepanjang 2018, terdapat 555 kasus konflik agrarian. Dari jumlah itu sebanyak 306 kasus berada di sektor perkebunan.

 

Yaya mengingatkan belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas memerintahkan jajarannya untuk menyelesaikan konflik agraria. Tapi terbitnya surat Kemenko Perekonomian ini tidak selaras dengan perintah tersebut. Padahal, salah satu pintu masuk untuk menyelesaikan konflik agraria yakni melihat izin yang dikantongi perusahaan, salah satunya HGU. Praktiknya, ketika menyerobot tanah masyarakat, perusahaan sering mengklaim sudah mengantongi izin. Ketika ditanya dokumen perizinannya, perusahaan menolak untuk menunjukan kepada masyarakat.

 

“Masalah utama konflik agraria itu karena tumpang tindih perizinan. Masyarakat sudah memanfaatkan lahan sebagai sumber kehidupan, tapi perusahaan mengklaim lahan itu merupakan konsesi yang diberikan pemerintah,” papar Yaya.

 

Untuk menyelesaikan konflik agraria dan mencegah kerusakan lingkungan, Yaya mengingatkan pentingnya bagi publik untuk dapat mengakses seluruh perizinan yang dimiliki perusahaan termasuk HGU. “Ini prasyarat utama untuk menyelesaikan konflik,” tegasnya.

 

Dia menambahkan ditutupnya akses data dan informasi HGU juga dilakukan oleh Kementerian ATR dan BPN. Kementerian yang dipimpin Sofyan Djalil itu sudah diperintahkan MA melalui putusan bernomor 121 K/TUN/2017 tertanggal 6 Maret 2017 untuk membuka data HGU, tapi sampai sekarang belum dilaksanakan. “Sejumlah langkah yang akan ditempuh Walhi untuk menghadapi persoalan ini antara lain melayangkan surat protes kepada Presiden Jokowi.”

Tags:

Berita Terkait