Akhiri Polemik Pelibatan TNI Tangani Terorisme, Ketentuan Ini Perlu Dicabut
Berita

Akhiri Polemik Pelibatan TNI Tangani Terorisme, Ketentuan Ini Perlu Dicabut

Pasal 43 I ayat (3) UU No.5 Tahun 2018 perlu dicabut. Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme harus mengacu pasal 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi TNI: HGW
Ilustrasi TNI: HGW

Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme masih terus menjadi polemik di masyarakat. Hal ini sehubungan sikap pemerintah yang telah menyampaikan draft Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme kepada DPR untuk meminta pertimbangan. Perpres ini amanat Pasal 43 I ayat (3) UU No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengatur pelaksanaan mengatasi aksi terorisme diatur melalui Perpres.

Kepala BAIS TNI periode 2011-2013 Laksda (Purn) Soleman Ponto menilai polemik ini akan terus terjadi selama Pasal 43 I ayat (3) UU No.5 Tahun 2018 ini belum dicabut. Dia mengatakan sejak awal sudah memberi masukan kepada pemerintah dan DPR agar ketentuan ini tidak dimasukan dalam UU No.5 Tahun 2018. Dia menyarankan lebih baik aturan tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme mengacu Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yakni pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP) harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Soleman berpendapat Pasal 43 I UU No.5 Tahun 2018 dan Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004 sama-sama mengatur tentang operasi militer selain perang, tapi kebijakan yang diterbitkan berbeda. UU No.5 Tahun 2018 mengamanatkan pelaksanaan operasi militer selain perang dalam rangka mengatasi terorisme hanya menggunakan Perpres, tapi Pasal 7 ayat (3) UU No.34 Tahun 2004 memandatkan adanya kebijakan dan keputusan politik negara.

Menurutnya, jika pemerintah menerbitkan Perpres sebagaimana amanat Pasal 43 I UU No.5 Tahun 2018 tidak sejalan dengan konsep sistem peradilan pidana dalam menangani terorisme. Tapi, Perpres itu harus dibuat karena mandat UU No.5 Tahun 2018. “Polemik ini akan berakhir jika pasal 43 I ayat (3) dicabut, kembalikan saja OMSP pada Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004,” kata Solemen Ponto dalam diskusi secara daring, Selasa (9/6/2020). (Baca Juga: Alasan Masyarakat Sipil Menolak Pelibatan TNI Tangani Terorisme)

Ketua PSKP UGM Najib Azca berpendapat polemik ini terkait ekonomi politik reformasi sektor keamanan yang bergulir sejak reformasi. Seperti diketahui pada masa Orde Baru kekuatan TNI sangat mendominasi, terutama TNI Angkatan Darat. Bahkan ada satuan khusus yang menangani terorisme. Tapi sejak reformasi dilakukan pembenahan di sektor pertahanan dan keamanan. Salah satunya mencabut dwi fungsi ABRI (TNI). Alhasil, dekarang penanganan terorisme beralih pada sistem peradilan pidana.

Najib menilai kasus terorisme di Indonesia saat ini masih berskalanya kecil dan penanganannya relatif berhasil. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), TNI sempat dijanjikan untuk memiliki peran dalam menangani terorisme. Sejak itu dorongan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme semakin kuat. Ditambah lagi terjadi peristiwa kasus bom Thamrin dan Surabaya, dimana peristiwa ini makin mendorong pemerintah melakukan revisi UU Terorisme.

“Dalam pembahasan RUU terjadi perdebatan panjang mengenai pelibatan TNI menangani terorisme. Alhasil, perdebatan itu sekarang berlanjut di Perpres,” beber Najib.

Dia mencontohkan operasi pemberantasan terorisme di Poso, Sulawesi Tengah. Menurutnya kelompok teroris yang masih ada di sana jumlahnya relatif kecil, tapi aparat yang dikerahkan jumlahnya cukup besar hingga mencapai ribuan. Operasi pemberantasan terorisme di Poso ini pada 2015 dilakukan oleh kepolisian, tapi tahun 2016 mulai melibatkan TNI. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk operasi ini tidak kecil, setiap triwulan jumlahnya Rp13 milyar.

“Menariknya kelompok teroris yang tersisa itu jumlahnya hanya belasan orang, tapi operasi ini belum selesai,” lanjutnya.

Koordinator Public Interest Lawyer Network (PilNet) Indonesia Erwin Natosmal Oemar merujuk Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004 operasi militer selain perang dilakukan melalui keputusan politik negara. Ini artinya yang dibutuhkan keputusan presiden dan pertimbangan DPR, tapi draft Perpres mengatur yang diperlukan hanya keputusan presiden.

“Jika Perpres ini terbit maka berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain seperti BNPT,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Erwin menegaskan Perpres ini akan memasukan TNI dalam sistem peradilan pidana. Padahal dalam sistem peradilan pidana ada mekanisme check and balances, misalkan ada warga negara yang dirugikan oleh tindakan hukum, maka dapat mengajukan praperadilan. Lalu bagaimana jika masyarakat yang dirugikan mau meminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan TNI? Bagaimana memastikan tindakan itu telah sesuai prinsip hukum dan HAM? Misalnya, ketika TNI menangkap teroris dengan kekerasan.

“Salah satu reformasi TNI yang belum selesai itu UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang sampai sekarang belum direvisi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait