Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP
Problematika RKUHP:

Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP

Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam KUHP segera berakhir. Beberapa catatan kritis pun masih dibahas. Akankah KPK di ujung tanduk?

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nampaknya akan segera usai. Pemerintah dan DPR mentargetkan pembahasan Buku I dan II RKUHP rampung pada Januari 2018. Sebagaimana diketahui, Buku II mengadopsi sejumlah delik khusus, termasuk korupsi.

 

Delik-delik khusus dikumpulkan menjadi satu dalam Bab Tindak Pidana Khusus. Di situ, ada berbagai macam tindak pidana khusus, seperti tindak pidana terorisme, narkotika, pencucian uang, Hak Asasi Manusia (HAM), kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak, pemilihan umum, pelayaran, penerbangan, serta informasi dan transaksi elektronik (ITE).

 

Sebenarnya, penarikan delik korupsi dan beberapa tindak pidana khusus lain ke dalam RKUHP sudah menjadi perdebatan lama. Bahkan, sejak 2013, beberapa diskusi telah diselenggarakan untuk membahas perlu atau tidak memasukan delik korupsi dalam RKUHP. Muncul pro dan kontra antara sesama pakar hukum, ataupun secara kelembagaan.

 

Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) kala itu, Prof Jacob Elfinus (JE) Sahetapy pernah meminta agar pemerintah menarik RKUHP dari proses pembahasan yang tengah berlangsung DPR. Oleh karena RKUHP tersebut tidak juga ditarik dari DPR, ia meminta pemerintah bersama DPR untuk mengeluarkan delik korupsi dalam RKUHP.

 

Masuknya delik korupsi dalam RKUHP dikhawatirkan akan menghilangkan sifat kekhususannya. Delik korupsi akan menjadi delik umum, sehingga keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menjadi "terancam". Belum lagi persoalan mengenai tata cara penanganan korupsi yang selama ini memberikan kewenangan khusus kepada KPK.

 

Mengenai semangat pemerintah bersama DPR untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana, Sahetapy menyatakan, niat itu sah-sah saja. Kodifikasi adalah menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku. Tapi, bukan berarti tidak boleh ada peraturan di luar buku atau kodifikasi itu.

 

Dengan demikian, Sahetapy berpandangan, bahwa sikap KPK maupun lembaga-lembaga penegak hukum lain yang merasa dirugikan dengan keberadaan delik-delik khusus dalam RKUHP sangat beralasan. Menurutnya, jika delik korupsi dimasukan ke dalam RKUHP, maka nasib KPK tinggal menunggu hari saja.

 

Tiga tahun sebelumnya, tepatnya pada 2011, Prof Andi Hamzah juga pernah mengkritik rencana pemerintah dan DPR yang ingin segera membahas RKUHP. Ia menilai draf RKUHP yang akan "dilempar" ke DPR sudah "basi" dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sebab, draf itu sudah diberikan kepada pemerintah sejak 1992.

 

Baca Juga: Sekilas Sejarah dan Problematika Pembahasan RKUHP

 

Seiring perkembangan zaman dan masukan berbagai pihak, pemerintah kembali menggodok rumusan RKUHP. Alhasil, pada 2013, draf RKUHP yang sudah mengalami beberapa perombakan diserahkan pemerintah kepada DPR. Ketika itu, KPK merasa pembahasan RKUHP tidak transparan karena tidak melibatkan publik.

 

KPK bahkan mengajak para akademisi mengajukan penundaan pembahasan RKUHP lantaran ada sejumlah rumusan yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Sejumlah akademisi dari beberapa perguruan tinggi pun ikut menolak keberadaan delik korupsi dalam RKUHP. Sebut saja, pengajar hukum pidana UGM Prof Edward Omar Sharif Hiariej.

 

Saat RKUHP ramai diperbincangkan pada 2013, pria yang akrab disapa Eddy ini pernah menyatakan bahwa dengan masuknya delik korupsi ke dalam KUHP, maka kejahatan korupsi tidak lagi tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan korupsi akan menjadi sama dengan kejahatan lainnya yang diatur dalam KUHP.

 

Eddy berpendapat, apabila kejahatan korupsi menjadi delik umum, lembaga seperti KPK cenderung tidak diperlukan lagi. Penegakan hukumnya juga cukup hanya bersandar pada KUHAP. "Kalau misalnya, akhirnya penegakan hukumnya bersandar ke KUHAP, maka KPK dibubarkan saja," katanya beberapa tahun lalu.

 

Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) waktu itu, Amir Syamsuddin membantah jika pemerintah berniat menggembosi KPK. Ketua Tim Perumus RKUHP, Prof Muladi mengungkapkan, RKUHP sudah disusun sejak berpuluh tahun lalu. Ia menegaskan, justru RKUHP merupakan karya monumental untuk menghapus KUHP warisan kolonial Belanda yang berlaku saat ini.

 

Akhirnya, pada 2015, RKUHP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR, sedangkan RKUHAP tidak masuk prioritas Prolegnas. Kementerian Hukum dan HAM melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mulai membuat rumusan Draf Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang KUHP.

 

Kemudian, pemerintah dan DPR semakin intens membahas RKUHP. KPK juga berjibaku melakukan penolakan. KPK kekeuh meminta agar delik-delik korupsi tetap berada di luar KUHP. Akan tetapi, sampai dengan pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR pada 2017, delik-delik khusus, seperti korupsi tidak juga dikeluarkan dari RKUHP.

 

Setidaknya, terdapat 19 pasal tindak pidana korupsi yang dibahas pemerintah bersama DPR. Sebagian besar pasal mengadopsi ketentuan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Sebagian lagi merupakan norma baru dan integrasi dari tindak pidana jabatan.

 

Dari hasil pembahasan, beberapa pasal telah disetujui Panja. Ada pula yang diberikan catatan oleh Panja untuk dibahas dalam tim perumus (Timus) dan tim sinkronisasi (Timsin). Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih mengatakan, saat ini, proses pembahasan masih di Timus dan Timsin. Apabila masih ada pasal yang bermasalah, akan dibawa ke tingkat rapat kerja (Raker).

 

"Memang (pembahasan RKUHP) diharapkan selesainya bulan Desember karena kami berharap Indonesia paling tidak setelah 72 tahun merdeka mempunyai satu UU karya bangsa sendiri. Bukan lagi peninggalan kolonial Belanda, warisan dari Perancis, itu kode penal Perancis," katanya kepada hukumonline saat ditemui di kantornya, Rabu (13/12).

 

Enny menjelaskan, pemerintah sangat berhati-hati merumuskan RKUHP. Jangan sampai pasal-pasal tersebut diuji materi dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) di kemudian hari. Oleh karena itu, pemerintah sangat mencermati masukan dari sekian banyak stakeholder, termasuk aparat penegak hukum. Sebab, penegak hukumlah yang akan menerapkan di lapangan.

 

Salah satu penegak hukum yang pernah diundang dan dimintakan masukan dalam pembahasan RKUHP adalah KPK. Bahkan, pada 2015, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana sempat mendatangi KPK untuk berdiskusi langsung dengan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji.

 

Dalam perkembangan pembahasan RKUHP, KPK kembali diundang untuk memberikan masukan. KPK bersama Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat hadir dalam rapat kerja pembahasan RKUHP dengan Komisi III DPR pada Mei 2017. Sikap KPK sama seperti BNN, tetap menolak.

 

Dalam kesempatan berbeda, KPK kembali dimintakan masukan terhadap RKUHP. Namun, menurut Enny, KPK sedang sibuk. Walau begitu, ia tidak mau menutup mata. Ia menyadari kekhawatiran KPK dan lembaga khusus lain, serta sejumlah elemen masyarakat mengenai keberadaan delik khusus dalam RKUHP.

 

Tak kurang, elemen masyarakat, seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah memberikan catatan terhadap pembahasan RKUHP. Menjawab kekhawatiran ini, Enny menjelaskan, RKUHP dirancang sebagai kodifikasi terbuka, sehingga tidak akan menafikan UU khusus di luar KUHP. Demi mempertegas, pemerintah pun membuat ketentuan peralihan.

 

"Yang dikhawatirkan mereka, kalau masuk ke sini (KUHP), (hukum acara) yang digunakan adalah KUHAP. Padahal, tidak. Yang dimasukan ke dalam KUHP (hanya) delik pokoknya, core crime. Kami menentukan (dalam ketentuan peralihan), hukum acara untuk ketentuan-ketentuan yang selama ini sudah ada hukum acaranya, kelembagaannya, itulah yang tetap digunakan. Bukan hukum acaranya otomatis hukum acara di KUHAP, tapi mereka menggunakan hukum acaranya sendiri. Jadi, tetap sebagai lex specialis," terangnya.

 

TABEL 1

Pasal 781 RKUHP

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang yang menyimpangi Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, tetap berlaku sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana masing-masing.

(2) Kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang telah diatur dalam Undang-Undangnya masing-masing untuk menerapkan sebagian tindak pidana tertentu dalam Buku II ini, masih tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang mengaturnya

*RKUHP hasil pembahasan Panja DPR per 24 Februari 2017

 

Dengan kata lain, Enny ingin menegaskan bahwa lembaga-lembaga khusus seperti KPK, BNN, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak akan terancam keberadaannya.

 

"Justru diharapkan dengan (KUHP), misalnya yang terkait dengan korupsi akan lebih banyak pasalnya. Kenapa? Karena kita (sekarang) belum memasukan (delik-delik korupsi) yang ada dalam UNCAC (United Nations Convention against Corruption) di dalam sistem registrasi (UU) kita. (Dengan ini) Ya, kita tarik itu ke dalam KUHP," dalihnya.

 

Catatan penting!

Sebelum masuk lebih jauh membahas delik-delik korupsi dalam RKUHP, Hukumonline mencoba memetakan dan merangkum sejumlah permasalahan yang menjadi catatan KPK dan para pegiat anti korupsi. Dalam tabel juga akan ditampilkan catatan-catatan Panja, serta perbandingan rumusan delik korupsi dalam RKUHP (hasil pembahasan Panja DPR per 24 Februari 2017) dengan UU Tipikor.

 

TABEL II

No

RKUHP

UU Tipikor

Catatan/Permasalahan

1

Pasal 687

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI

Pasal 688

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV

Pasal 2 ayat (1)

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar

- Terdapat disparitas terhadap ancaman pidana minimal antara kedua pasal. Rawan disalahgunakan dan menjadi transaksional.

- Jumlah denda minimal pada Pasal 687 RKUHP berkurang menjadi Rp50 juta dari yang semula Rp200 juta pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor

- Jumlah denda maksimal pada Pasal 688 RKUHP berkurang menjadi Rp500 juta dari yang semula Rp1 miliar pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor

* Catatan PANJA 10-2-2017 : Ancaman pidana disesuaikan antara Pasal 687 dan 688 (ancaman Pasal 687 lebih berat dari Pasal 688)

* Catatan PANJA 23-2-207 : Pemerintah diminta merumuskan penjelasan mengenai kerugian keuangan/perekonomian negara

2

Pasal 690

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori IV, setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; ataub. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

- Harus diperjelas definisi pegawai negeri. Sebab, pegawai negeri dalam UU Tipikor tidak hanya meliputi pegawai negeri dalam UU Apartur Sipil Negara (ASN). Tapi, pegawai negeri yang dimaksud di sini, meliputi juga, antara lain :  

Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

- Penyelenggara negara dalam UU No.28 Tahun 199 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK ada sedikit perbedaan. Dalam penjelasan Pasal 11 huruf a UU KPK disebutkan :  Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No.28 Tahun 1999, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

- Pasal ini diperuntukan bagi pemberi suap. Dalam praktik, pemberi suap hanya dapat dipidana maksimal 5 tahun atau dengan kata lain lebih ringan dari ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan terhadap penerima suap. Hal ini dianggap tidak adil.

* Catatan PANJA 23-2-2017 : Pemerintah diminta merumuskan penggunaan istilah "pegawai negeri" dan "penyelenggara negara" dengan memperhatikan Pasal 197

3

Pasal 698

(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 690, Pasal 691, Pasal 692, Pasal 693, Pasal 694, Pasal 695, Pasal 696 dan Pasal 697 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5 juta

(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5 juta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal ini merupakan pasal baru yang sebelumnya tidak ada dalam UU Tipikor.

- Bagaimana jika suap di bawah Rp5 juta itu mengakibatkan dampak yang besar? Bagaimana pula jika suap di bawah Rp5 juta hanya uang muka, pelunasan, atau sebelumnya sudah ada korupsi-korupsi lain?

* Catatan PANJA 23-2-2017 : Terkait penentuan Rp5 juta.

4

Pasal 699

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori V

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar

- Mengingat perkembangan bentuk-bentuk gratifikasi, seperti gratifikasi sex dan jabatan, apa perlu RKUHP memperluas definisi dan bentuk-bentuk gratifikasi? Sebab, dalam penjelasan Pasal 12 B UU Tipikor hanya disebutkan : Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

- Jumlah ancaman minimal denda menyusut, dari yang semula Rp200 juta di Pasal 12 B UU Tipikor menjadi Rp50 juta di Pasal 699 RKUHP

* Catatan PANJA 23-2-2017 : Berkaitan dengan penentuan nilai Rp10 juta dan perlu dirumuskan mengenai "gratifikasi"

5

Pasal 700

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 699 ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

* Catatan PANJA 23-2-2017 : ayat (2), (3), dan (4) dihapus, sedangkan ayat (1) menjadi ayat (3) pada Pasal 699. Bunyinya : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 699 ayat (1) tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya

- Apabila mengikuti catatan Panja, lantas bagaimana jika pasal ini menjadi alasan bagi koruptor untuk melepaskan diri dari jerat hukum? Bisa saja ia berdalih akan mengembalikan uang ke KPK ketika tertangkap tangan atau saat hendak diproses hukum oleh KPK?

6

Pasal 702

Setiap orang yang melanggar ketentuan UU yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut sebagai tindak pidana korupsi, berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab ini dan UU yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi

Pasal 14

Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

Kalau sampai terjadi perbedaan antara aturan di KUHP dan UU Tipikor, mana yang digunakan?

7

Pasal 703

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 687, Pasal 688, Pasal 689 sampai dengan Pasal 702

Pasal 15

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

* Di-pending PANJA 23-2-2017

Catatan : Perbuatan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dapat dipidana sama untuk pasal tertentu saja dan disesuaikan dengan putusan MK

- Putusan MK Nomor 21/PUU-XIV/2016 :

Frasa “pemufakatan jahat“ dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”

Frasa "tindak pidana korupsi" dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14“

8

Penambahan beberapa delik korupsi baru yang diadopsi dari UNCAC

Sebelumnya tidak ada dalam UU Tipikor

* Catatan PANJA 24-2-2017 : Pemerintah diminta merumuskan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan UNCAC (2003), antara lain :

1. Tindak pidana penyuapan di sektor swasta (korporasi)

2. Tindak pidana penyuapan pejabat publik asing dan pejabat dari organisasi internasional publik

3. Tindak pidana memperdagangkan pengaruh

4. Tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah

 

Untuk memperjelas kategorisasi pidana penda yang dimaksud dalam tabel di atas, berikut uraian kategorisasi pidana denda yang terumuskan dalam RKUHP:

TABEL III

Pasal 82 RKUHP

(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu :

a. kategori I Rp10 juta;

b. kategori II Rp50 juta;

c. kategori III Rp150 juta;

d. kategori IV Rp500 juta;

e. kategori V Rp2 miliar; dan

f. kategori VI Rp15 miliar.

(4) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

Catatan-catatan di atas menunjukan bahwa masih ada sekelumit permasalahan yang belum teratasi dengan rumusan-rumusan RKUHP. Tidak tertutup kemungkinan juga rumusan delik korupsi yang nanti tertuang dalam KUHP, justru menjadikan "ladang" transaksional baru atau menjadi dalih untuk lepas dari jerat korupsi.

 

KPK sendiri sebenarnya memiliki beberapa pandangan kritis tentang pasal-pasal korupsi dalam RKUHP. Meski begitu, KPK memilih sikap untuk konsisten menolak keberadaan delik korupsi dalam RKUHP. KPK teguh meminta agar delik korupsi tetap berada di luar KUHP.

 

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, andaikata ada delik korupsi yang masuk dalam RKUHP, KPK meminta delik baru yang belum diatur dalam UU Tipikor. Misalnya, illicit enrichment (memperkaya diri sendiri secara tidak sah), trading in influece (memperdagangkan pengaruh), dan corruption in private sector (korupsi di sektor swasta).

 

"Termasuk juga misalnya yang saya dengar itu rumusan tentang tanggung jawab pidana korporasi di bidang korupsi, kurang dirumuskan dengan benar. Bahkan, mereka tidak mau mengikuti yang ada di dalam Perma (Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi). Saya pikir itu salah, karena yang ada dalam Perma sekarang itu kita sudah melakukan benchmarking di banyak negara. Oleh karena itu, harus disesuaikan," katanya.

 

Masukan-masukan semacam ini sebetulnya telah disampaikan KPK dalam bentuk tertulis maupun dialog dalam setiap pertemuan dengan tim pemerintah dan DPR. Namun, apa mau dikata? Pemerintah dan DPR tetap "ngotot" memasukan delik korupsi dalam RKUHP yang pembahasannya ditargetkan rampung pada Januari 2018.

 

Menurut Laode, boleh saja jika pemerintah ingin membuat ketentuan peralihan untuk menjembatani antara KUHP dengan UU Tipikor dan UU lainnya di luar KUHP. Ketentuan peralihan itu boleh jadi akan mempertahankan eksistensi KPK. Akan tetapi, yang perlu diingat, bagaimana jika delik korupsi di dalam KUHP perlu diubah lagi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman?

 

"Korupsi itu lebih bagus di luar KUHP karena perkembangan modus operandi korupsi berkembang cepat, sedangkan kalau kitab undang-undang itu biasanya agak susah untuk menyesuaikan dengan zaman. Lihat, KUHP kita sekarang saja sudah berapa ratus tahun? Mengubahnya pun susah," tuturnya.

 

Baca Juga: Menyoal Konstitusionalitas Pasal ‘Zombie’ di RKUHP

 

Kendati demikian, KPK telah memiliki kajian mengenai pasal-pasal mana saja yang perlu direvisi. Tapi, revisi dimaksud bukan dimasukan ke dalam RKUHP, melainkan dalam revisi UU Tipikor. Sebut saja, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dan pasal-pasal mengenai gratifikasi. Dari Laode sendiri, Pasal 5 UU Tipikor juga menjadi catatan. Pasal-pasal ini dinilai menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan.

 

Seperti yang sudah banyak dibahas dalam berbagai forum. Terdapat sejumlah persoalan dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Beberapa diantaranya, mengenai unsur kerugian negara dan disparitas ancaman pidana minimal dalam kedua pasal tersebut. Ancaman pidana minimal dalam Pasal 3 lebih rendah ketimbang Pasal 2 ayat (1). Padahal, kedua pasal itu kerap diterapkan secara alternatif, sehingga menimbulkan potensi "jual beli" pasal. Ibaratnya, bila ingin hukuman lebih rendah, maka akan dikenakan Pasal 3.

 

Sama halnya dengan permasalahan tentang unsur "kerugian keuangan negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Permasalahan ini telah dibahas dalam berbagai forum. Sekelumit masalah muncul. Ada yang mempermasalahkan kerugian negara harus riil dan bukan sekadar potensi. Ada pula yang mempermasalahkan siapa sebenarnya yang berwenang menghitung dan menetapkan kerugian negara?

 

Bila melihat catatan terkait unsur kerugian keuangan/perekonomian yang diberikan Panja DPR dalam pembahasan RKUHP (lihat Tabel II), pemerintah diminta untuk merumuskan penjelasan unsur "kerugian keuangan/perekonomian negara". Boleh jadi, pemerintah akan sekalian menentukan siapa berhak menghitung dan menetapkan kerugian negara.

 

Jika mengacu UUD 1945 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, lembaga yang berwenang menetapkan kerugian negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 

Kalau sampai pemerintah menetapkan hal itu dalam penjelasan unsur "kerugian keuangan/perekonomian negara", tentu KPK tak sepakat. Laode menegaskan, pendapat KPK senada dengan putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012. Dimana, MK menyatakan, dalam menghitung kerugian negara, KPK tidak hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). KPK dapat pula berkoordinasi dengan instansi lain, serta bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya, dengan mengundang ahli atau meminta bahan dari Inspektorat Jenderal.

 

"Jadi, tidak boleh mengensampingkan putusan MK. Kemudian, dari segi practically, bayangin nggak sih, kalau semua dihitung oleh BPK? Padahal, asas peradilan itu kan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Kalau semua di-pool oleh jaksa, kepolisian dan KPK di BPK, berapa ratus, bahkan ribuan per tahun? Anggaplah satu Polres, satu. Itu sudah berapa? KPK misalnya 100, 200 kasus per tahun yang berhubungan dengan kerugian negara? Bayangkan dia (BPK) jadi overwhelm nanti," ucap Laode.

 

Mengenai pasal-pasal gratifikasi, KPK memiliki beberapa catatan. Dalam hasil review UNCAC putaran pertama, banyak negara yang menanyakan kepada Indonesia, apa perbedaan antara suap dan gratifikasi? Sebab, di negara-negara lain, tidak ada pembedaan antara suap dan gratifikasi. Malahan, gratifikasi dapat diterapkan kepada swasta dengan swasta.

 

"Seperti di Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB -lembaga anti korupsi Singapura), ada kasus antara dosen dengan mahasiswa. Mahasiswanya kirim bunga ke dosennya, post card, saling gitu gitu, dan itu dimasukin ke korupsi oleh mereka. Walaupun tidak ada uang negara di situ," Laode mencontohkan.

 

Permasalahan lain terdapat dalam rumusan Pasal 5 UU Tipikor (pasal untuk pemberi suap). Ancaman maksimal pidana penjara yang dapat dikenakan terhadp pemberi suap hanya lima tahun, sedangkan ancaman pidana yang dapat dikenakan terhadap penerima suap bisa sampai sampai seumur hidup. Laode menilai, "kesenjangan" ini menimbulkan ketidakadilan. Ia berharap ancaman pidana Pasal 5 dinaikan supaya ada konsekuensi yang sama, baik bagi pemberi maupun penerima suap.

 

Kemudian, mengenai norma baru dalam RKUHP yang menentukan korupsi di bawah Rp5 juta tidak perlu dipidana penjara juga mendapat catatan. Laode meminta agar rumusan itu diperjelas, serta diberikan konteks dan batasan yang jelas.

 

"Bagaimana misalnya, dia menyuap Rp4,5 juta. Tetapi, gara-gara yang Rp4,5 juta itu (dampaknya lebih besar). Kan kemarin banyak tuh yang dibilang OTT (operasi tangkap tangan) recehan, tapi sebenarnya itu yang kelihatan (ketika) dia ditangkap doang. Yang sudah diperjanjikan atau yang telah (diberikan), sudah diambil. Ini rumusannya harus benar," katanya.

 

Selain pasal-pasal tadi, satu hal yang paling penting adalah merevisi pengklasifikasian "pegawai negeri" dan "penyelenggara negara". Sebagaimana diketahui, KPK hanya dapat menindak korupsi yang melibatkan penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan orang-orang yang terkait dengan penyelenggara negara atau penegak hukum tersebut.

 

Laode menyatakan, seharusnya tidak ada pembedaan antara pegawai negeri dan penyelenggara negara. Sebab, di luar negeri pun, istilah yang digunakan hanya satu, yaitu public official. Dalam praktik, banyak kasus korupsi yang penyelenggara negaranya tidak "bermain" sendiri. Si penyelenggara negara kerap menggunakan pegawai-pegawai di bawah sebagai "kaki tangan".

 

Nah, bila keterlibatan si penyelenggara negara belum terungkap, KPK tidak bisa masuk. Sekalipun kepala kantor wilayah provinsi, KPK tetap tidak dapat masuk karena bukan eselon I. Padahal, mereka adalah orang-orang yang berwenang menentukan banyak kebijakan. Di lain pihak, peneliti ICW Lalola Easter juga memberikan catatan untuk beberapa pasal korupsi yang masuk dalam RKUHP, meski sebenarnya ia berharap agar perubahan pasal-pasal itu dimasukan dalam revisi UU Tipikor saja.

 

Baca Juga: Begini Alasan MK Ubah Delik Tipikor

 

Catatan pertama, mengenai ancaman pidana minimal di Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Menurutnya, ancaman pidana minimal di Pasal 3 harus lebih berat daripada Pasal 2 ayat (1) karena subjeknya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang notabene mempunyai kewenangan, sarana, atau kesempatan. Kemudian, mengenai kerugian negara, pendapat Lalola senada dengan KPK.

 

Selanjutnya, mengenai pasal-pasal gratifikasi. Perempuan yang akrab disapa Lola ini berpendapat, definisi gratifikasi yang ada dalam UU Tipikor sudah cukup baik karena diatur dengan sangat leluasa di bawah frasa “fasilitas lainnya”. Pertanyaannya, bagaimana treatment terhadap bentuk-bentuk gratifikasi baru, termasuk gratifikasi seksual? Kualifikasinya seperti apa?

 

"(Jadi) Tinggal dibuat gradasi perbuatannya, karena rumusan pasal gratifikasi yang sekarang masih bermasalah. Lebih baik, ada revisi pasal gratifikasi dalam konteks pembentukan gradasi, mulai dari gratifikasi biasa, gratifikasi ilegal, hingga suap," ujarnya.

 

Mengenai delik-delik korupsi dalam UNCAC yang akan diadopsi dalam RKUHP, Lola meminta agar delik-delik korupsi yang sifatnya lebih spesifik semacam itu dimasukan ke dalam revisi UU Tipikor. Dan, mengenai korupsi di bawah Rp5 juta, ia sepakat jika sanksinya dibedakan dengan pidana-pidana korupsi lain yang nilainya lebih besar.

 

"Sepatutnya ada bentuk sanksi pidana lain untuk tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya tidak besar, karena itu juga akan menjadi beban aparat penegak hukum. Kalau tidak salah, Kejaksaan sudah punya Surat Edaran (Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 tentang Prioritas dan Pencapaian dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi) soal tidak menuntut perkara korupsi yang kerugiannya di bawah Rp50 juta," imbuhnya.

 

"Dalil" pemerintah dan DPR

Apapun catatan KPK dan publik terhadap RKUHP, keputusan akhir atas hasil pembahasan undang-undang tetap di tangan DPR dan pemerintah. Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih memastikan, pemerintah sangat berhati-hati dalam merumuskan pasal per pasal RKUHP. Tentu, pemerintah juga mendengar masukan-masukan dari para stakeholder.

 

Tidak hanya stakeholder, pemerintah pun melibatkan sejumlah tim ahli, seperti Prof Muladi dan Prof Harkristuti Harkrisnowo, serta para proofreader yang merupakan ahli pidana dari beberapa perguruan tinggi. Sebut saja, Prof Edward Omar Sharif Hiariej, Prof Marcus Priyo Gunarto, Prof. Nyoman Sarikat, dan Dr Mudzakir.

 

Enny mengaku, pembahasan masih terus berjalan. Memang, ada beberapa pasal yang mendapat catatan, seperti rumusan Pasal 687, 688, 690, 698, 699, 700, dan 703. Mengenai disparitas ancaman pidana, pemerintah baru menyadari bahwa Indonesia tidak memiliki standar pemidanaan. Jadi, wajar saja jika ada kasus-kasus korupsi yang diputus rendah.

 

Oleh karena itu, dalam RKUHP, pemerintah membuat standarisasi pemidanaan, termasuk kategorisasi pidana denda. Model kategorisasi ini sebenarnya mengadopsi model yang ada di Belanda. Model kategorisasi tidak menggunakan bilangan rupiah, sehingga tidak lekang oleh waktu karena dapat disesuaikan dengan perkembangan inflasi, harga emas, dan sebagainya.

 

Mengenai "pekerjaan rumah" pemerintah yang diminta Panja untuk merumuskan penjelasan "kerugian keuangan/perekonomian negara", sambung Enny, juga masih dalam proses pembahasan. Ia menilai, agak sulit merumuskan penjelasan "kerugian keuangan/perekonomian negara" karena sangat absurd dan sulit dikonkritkan.

 

"Memang, ada (dalam) UUD kita, satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan sebenarnya BPK, dan itu harus ditegaskan. Kalaupun ada BPKP, itu sebagai kelembagaan yang sebetulnya berkoordinasilah dengan BPK, harusnya begitu," katanya.

 

Baca Juga: Perluasan Delik Kesusilaan di RKUHP Pun ‘Gantung’ di Parlemen

 

Lebih lanjut, mengenai pasal gratifikasi, Enny mengungkapkan, pemerintah merasa belum perlu memperluas definisi dan bentuk-bentuk gratifikasi. Walau begitu, pembahasan mengenai bentuk-bentuk lain gratifikasi, termasuk gratifikasi sex sempat muncul dalam diskusi. Namun, akhirnya tidak terakomodasi karena RKUHP hanya mengakomodasi core crime-nya saja.

 

Kemudian, mengenai munculnya norma baru tentang tindak pidana korupsi dengan nilai di bawah Rp5 juta, pemerintah memiliki alasan tersendiri. Enny menerangkan, proses peradilan di Indonesia sangat panjang dan berbelit-belit. Jika korupsi hanya sebesar itu, sementara biaya yang dikeluarkan lebih banyak dan berlipat-lipat, perlu dipikirkan batasannya.

 

"Bukan berarti kita menafikan (korupsi kecil). Itu kan ada mekanisme yang lain untuk menegakannya. Itu yang menjadi perdebatan. Memang, yang (bab tindak pidana) khusus ini di Panja sudah diputus, tapi di Timus kan masih digodok. Kami memang masih menyendirikan yang khusus ini karena nanti ada diskusi yang khusus juga soal ini," ujarnya.

 

Lantas, bagaimana dengan beberapa delik UNCAC yang diadopsi ke dalam RKUHP? Enny menjelaskan, masuknya delik-delik korupsi baru dalam RKUHP agar dapat segera diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional. Nanti, hukum acaranya dan pengaturan kelembagaannya tetap mengacu pada hukum acara tindak pidana korupsi yang berlaku sekarang.

 

Terpisah, anggota Komisi III DPR Teuku Taufiqulhadi mengatakan, semua fraksi di DPR sepakat menambahkan sejumlah delik korupsi baru yang diadopsi dari UNCAC ke dalam RKUHP. Ia menampik jika DPR dianggap tidak mendukung pemberantasan korupsi, Justru, Panjalah yang meminta pemerintah memasukan delik-delik tersebut.

 

"Ini menunjukan yang kita bahas ini jauh sangat progresif. Karena itu, kita masukan (pula) korupsi korporasi. Ketika (KUHP) dibuat oleh Belanda dulu, kejahatan korporasi tidak ada. Tapi, sesuai perkembangan zaman, terjadilah perkembangan-perkembangan yang luar bisa. Jual beli pengaruh, dan sebagainya. Itu dimasukan semuanya," tuturnya.

 

Terkait dengan ketentuan baru mengenai korupsi di bawah Rp5 juta, Taufiqulhadi mengungkapkan, pada dasarnya, mengikuti pergeseran mazhab pemidanaan. Dimana, kejahatan-kejahatan kecil cukup diselesaikan secara administratif. Pemikiran itu juga sejalan untuk mengatasi permasalahan overcapacity penjara.

 

Namun, bukan berarti setiap korupsi di bawah Rp5 juta dianggap sebagai kejahatan kecil. Taufiqulhadi memberikan pengecualian jika korupsi Rp5 juta itu berkaitan dengan kejahatan luar biasa atau dengan kata lain korupsi Rp5 juta hanya "puncak gunung es", sedangkan "di bawah gunung es" korupsi yang dilakukan mencapai miliaran rupiah.

 

Terlepas dari segala lika-liku pembahasan RKUHP, anggota DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini membenarkan bahwa Buku I dan II RKUHP ditargetkan untuk disahkan pada Januari 2018. Ia mengibaratkan KUHP sebagai "konstitusinya" hukum pidana. Sebagai "konstitusi", tentu tidak boleh ada UU pidana lain yang bertentangan dengan KUHP.

 

Jadi, Taufiqulhadi menegaskan, semua tindak pidana menginduk kepada KUHP. Termasuk pula dengan tindak pidana korupsi. Ia menganggap, masuknya delik korupsi ke dalam RKUHP tidak akan mengancam keberadaan KPK. Lembaga antirasuah tersebut tetap dapat melakukan kewenangannya menindak korupsi. Hanya saja, penegakan hukum yang dilakukan KPK harus tetap mengindahkan KUHP dan KUHAP.   

 

"Nah, kalau sebuah lembaga melakukan penegakan hukum, pemberantasan korupsi dengan tidak mengindahkan UU yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini KUHP dan KUHAP, kalau itu tidak diindahkan, maka akan terjadi pelanggaran hukum. Itu pasti akan terjadi pelanggaran HAM," katanya.

Tags:

Berita Terkait