Akhir Drama Manulife di Pengadilan Niaga
Fokus

Akhir Drama Manulife di Pengadilan Niaga

Marsellina Tanuhandaru dan kawan-kawan telah menjadi miliuner. Pembayaran dari Manulife senilai Rp6,644 miliar telah mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung selama 7 tahun. Pembayaran tersebut juga mendasari pencabutan permohonan pailit terhadap Manulife. Namun, Manulife tetap menyangkal memiliki utang.

Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Akhir Drama Manulife di Pengadilan Niaga
Hukumonline

Inilah bukti keampuhan Pengadilan Niaga. PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia akhirnya terpaksa membayar klaim senilai AS$500.000 ditambah bunga AS$180.000 sebagai upaya terhindar dari pailit.

Kasus ini menarik untuk diamati dan bisa menjadi contoh bagi kasus asusransi lain. Apakah 'hikmah' yang terjadi pada Manulife akan diikuti dengan kasus-kasus lain? Dengan kata lain, pemegang polis yang sedang berselisih dengan perusahaan asuransi, bisa memakai alternatif Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan perselisihannya.

Ini logis karena proses di Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) sampai Mahkamah Agung (MA) bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kasus Marcellina versus Manulife sendiri sudah berlangsung sejak 1994 dan masih dalam proses di Mahkamah Agung.

Sementara kasus ini di Pengadilan Niaga, dalam 30 hari sudah ada putusan untuk menentukan apakah suatu perusahaan dinyatakan pailit atau tidak. Kalaupun ada upaya kasasi, dalam jangka waktu 30 hari sejak diterima permohonan kasasi harus sudah ada putusan.

Tekanan terhadap Manulife

Tekanan terhadap Manulife memang begitu kuat, baik di dalam maupun di luar persidangan. Di dalam sidang, pembelaan Manulife didasarkan pada argumen bahwa hubungan antara pemegang polis dan penerbit polis bukanlah hubungan antara kreditur dan debitur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan (UUK). Yang ada, hanyalah hubungan antara penanggung dan tertanggung.

Selain itu, Manulife berargumen bahwa untuk perselisihan klaim ini kasusnya masih dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Di tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, Manulife bahkan menang dan gugatan Marcellina dkk ditolak.

Pertimbangan hukumnya adalah (alm) Ir. Paulus Tanuhandaru dalam mengisi aplikasi sebagai dasar terbitnya polis telah memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga melanggar asas Utmost Good Faith, dan khususnya non-Disclosure of Material Fact, serta Concealment of Material Fact.

Berdasarkan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang diajukan ke persidangan, Paulus dinyatakan telah menderita kanker lambung sebelum mengisi aplikasi sebagai syarat penerbitan polis.

Menanggapi hal tersebut, Lucas SH selaku kuasa hukum Marcellina secara lisan menanggapi kalau memang terbukti (alm) Paulus sudah mengidap kanker sebelumnya, kenapa saat Paulus meninggal baru dibilang polisnya tidak memenuhi syarat. Parahnya, sampai saat meninggal, Manulife masih menarik premi dari (alm) Paulus.

Di luar sidang, tekanan terhadap Manulife tidak kalah dahsyatnya. Mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka tidak mau atau mampu bertarung lewat media massa. Hampir dalam setiap persidangan, Lucas dan Marcellina lah yang menjadi pusat perhatian wartawan.

Tentu saja pernyataan-pernyataan Lucas dan Marcellina di hadapan wartawan menyudutkan Manulife. Anehnya, Manulife sama sekali tidak melakukan serangan balasan untuk menjelaskan posisinya di hadapan publik. Manulife kurang percaya diri?

Bahkan, dalam salah satu acara bincang-bincang yang diselenggarakan oleh salah satu TV swasta yang membahas kasus ini, hadir sebagai pembicara di antaranya Lucas, Swandy Halim (dalam kapasitas sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia, yang juga partner di kantor Lucas & Partners) serta Marcellina. Dalam acara tersebut, pihak Manulife sama sekali tidak diundang. Dan itu juga didiamkan oleh Manulife.

Tidak membayar, Manulife pailit

Tekanan paling berat yang dihadapi Manulife adalah ketika mereka menerima informasi bahwa kalau mereka tidak mau membayar (berdamai), mereka akan pailit. Menurut keterangan Palmer Situmorang, kuasa hukum Manulife, informasi tersebut diperoleh dari majelis hakim yang menyidangkan kasus ini.

Palmer menyatakan bahwa kliennya bukan tidak mau membayar, tetapi karena diancam kepailitan. Pihaknya mendapat indikasi sebelum putusan bahwa kliennya akan dipailitkan. Oleh karena itu, Manulife harus mengambil putusan yang jitu dan bijaksana, yaitu membayar kalim tersebut.

Keputusan Manulife untuk membayar semata-mata hanya untuk kepentigan bisnis. Namun, keputusan Manulife ini logis juga. Manulife harus menyelamatkan nasib 30.000 karyawan Manulife dan ratusan ribu pemegang polis. Palmer menambahkan bahwa berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1970, hakim dilarang menyatakan keyakinannya sebelum putusan diucapkan

Phillip Hampden Smith, Presdir Manulife Indonesia dalam pernyataan pada 6 Desember menyatakan bahwa Manulife dihadapkan pada posisi diilema. Pihaknya mengakui sulit membela diri, sehingga akhirnya membuat keputusan bisnis yang paling logis, yaitu menghindari kemungkinan dipailitkan secara teknis dan menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan.

Menurut Philip, ini adalah salah satu skenario bisnis paling tidak lazim yang dapat dibayangkan. Manulife Indonesia dengan aset lebih dari Rp1 triliun dan menjamin lebih dari 350.000 pemegang polis ternyata dapat digugat pailit di Pengadilan Niaga.

Baik Philip maupun Palmer sama-sama membantah bahwa pembayaran tersebut dilakukan karena ada kewajiban atau utang Manulife yang timbul. Sementara Lucas mengemukakan di muka sidang bahwa salah satu alasan pencabutan pailit ini adalah karena Manulife mengakui telah berutang, tetapi telah melakukan pembayaran seperti diminta pihaknya.

Palmer membantah ia pernah mengucapkan Manulife berutang. "Kalau tadi kuasa Marcellina membual bahwa kami mengakui utang, saya katakan di sini bahwa itu tidak benar," katanya.

Sementara Hampden menyatakan bahwa penyelesaian kasus ini bukan berarti bahwa Manulife memiliki kewajiban untuk membayar atau melakukan penyimpangan dalam kasus Marcellina. Pasalnya, penyelesaian di luar pengadilan murni merupakan keputusan bisnis.

Rasa keadilan masyarakat bawah

Dalam kesempatan terpisah, Lucas yang menjadi kuasa hukum Marcellina menyebutkan bahwa kasus Manulife ini menjadi bukti bahwa Pengadilan Niaga bisa memenuhi rasa keadilan dari masyarakat kelas bawah.

Lucas mengemukakan bahwa selama ini Manulife selalu bilang bahwa mereka perusahaan yang bonafide, sangat profesional, tetapi kenyataannya mereka tidak mau bayar klaim. Nah, menurut Lucas, di peradilan umum (Pengadilan Negeri) tidak kita dapatkan keadilan yang seperti itu.

Dengan terbuka kemungkinan perusahaan asuransi dipailitkan oleh Pengadilan Niaga, maka kepentingan masyarakat kelas bawah akan terpenuhi. Pasalnya, kalau klaim asuransi ditolak oleh Pengadilan Niaga dan dibawa ke peradilan umum, kapan bisa selesai? Lalu, di mana kepastian hukum dan rasa keadilan?

 

Tags: