Akan Segera Berlaku, Ini Ketentuan Turunan Perpres Beneficial Ownership
Utama

Akan Segera Berlaku, Ini Ketentuan Turunan Perpres Beneficial Ownership

Terdapat 32.756 Peseroan Terbatas (PT) yang telah menyampaikan Beneficial Ownership. Jumlah ini masih sangat kecil.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah melalui Kementerian hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), belum lama ini menerbitkan dua peraturan pelakasana dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Atas Korporasi dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme atau biasa disebut regulasi mengenai BO (Beneficial Ownership).

 

Kedua peraturan pelaksana tersebut berturut-turut adalah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi yang berlaku sejak 27 Juni 2019, serta Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi yang akan berlaku pada 27 Desember 2019 mendatang.

 

Untuk mengetahui lebih jauh substansi dari kedua Permenkumham ini, Direktur Perdata pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Daulat P. Silitonga, menjelaskan sejumlah hal. Terkait waktu untuk melakukan penyampaian informasi pemilik manfaat, pada Pasal 4 ayat (2) Permenkumham Nomor 15 Tahun 2019, menyatakan waktu untuk penyampaian pemilik manfaat dilakukan pada saat permohonan, pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan korporasi.

 

Tidak hanya itu, penyampaian informasi juga bisa dilakukan pada saat korporasi menjalankan usaha atau kegiatannya. Kedua hal ini pada prinsipnya memiliki perbedaan. Menurut Daulat, penyampian informasi pemilik manfaat pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan korporasi, dilakukan dalam hal apabila korporasi sudah menetapkan pemilik manfaat.

 

Jika korporasi belum menetapkan informasi pemilik manfaat, maka informasi pemilik manfaat nantinya dapat disampaikan paling lama 7 hari kerja setelah korporasi mendapatkan izin usaha.

 

“Harus ada surat pernyataan kesediaan bahwa informasi pemilik manfaat akan disampaikan paling lambat 7 hari kerja setelah korporasi mendapatkan izin usaha. Apabila memang ada BO yang sebenarnya yang tidak terdapat dalam dokumen-dokumen resmi,” ujar Daulat saat menjadi pembicara dalam Diseminasi Peraturan Pelaksana Permen No.13 Tahun 2018, Kamis (5/12), di Jakarta.

 

Sementara penyampaian informasi pemilik manfaat pada saat korporasi menjalankan usaha atau kegiatan, untuk perubahan informasi BO, bisa dilakukan paling lama 3 hari sejak terjadinya perubahan. Hal ini dapat dilakukan pada saat penambahan informasi dan/atau pencabutan informasi. Sementara untuk pengkinian informasi BO, menurut Daulat, dapat dilakukan melalui peninjuan pasca informasi pemilik manfaat yang telah disampaikan sebelumnya. “Pengkinian informasi BO dilakukan berkala setiap 1 tahun,” ujar Daulat.

 

Daulat mengungkapkan data pelaporan BO di Kemenkumham per 4 Desember 2019. Jumlah Perseroan Terbatas yang telah melaporkan BO ke Kemenkumham sebanyak 32.756. Sementara Yayasan sebanyak 3.961 dan perkumpulan sebanyak 2.179. Daulat menyebutkan, total Perseroan Terbatas yang terdaftar di Kemenkumham sebanyak 939.000. Oleh karena itu, jumlah 32.756 Peseroan Terbatas yang telah menyampaikan BO adalah angka yang masih sangat kecil.

 

(Baca: PPATK Ingatkan Kemudahan Investasi Jangan Jadi Ruang Bagi Kejahatan)

 

Selanjutnya untuk Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi. Berdasarkan permenkumham ini, terdapat tiga jenis bentuk pengawasan yakni dengan menetapkan regulasi atau pedoman, melakukan audit korporasi, dan kegiatan administratif lain. Dalam melakukan pengawasan, Dirjen AHU berkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya. Selanjutnya, Kemenkumham dapat membentuk tim dalam melakukan pengawasan.

 

Sementara untuk pelaksanaan pengawasan, terdapat jenis pelaksanaan pengawasan off site yang di dalamnya terdiri dari pemeriksaan dokumen dan informasi, penilaian penerapan BO, dan keterangan hasil pengawasan tidak langsung.

 

Terdapat pula jenis pelaksanaan pengawasan on site. Aktivitas di dalam pelaksanaan pengawasan ini adalah verifikasi dokumen dan informasi, verifikasi informasi penetapan BO, laporan instansi berwenang dan instansi terkait, proses pemberian izin usaha dari instansi berwenang, pemanggilan dengan korporasi, serta penyusunan hasil pengawasan langsung.

 

Daulat menjelaskan, hasil pengawasan on site maupun off site, berupa isian data dan informasi korporasi, temuan pengawasan berdasarkan pemeriksaan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi, serta rekomendasi hasil pengawasan. Jika terdapat korporasi yang tidak melaksanakan rekomendasi, Daulat menyebutkan dapat dijatuhkan tindakan berupa pemblokiran akses Korporasi, dan Menteri dapat menyampaikan rekomendasi kepada instansi berwenang yang menerbitkan izin usaha, yang memuat penundaan, pencabutan, pembatalan izin usaha korporasi.

 

Sementara Staf Ahli Menteri PPN Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas, Diani Sadia Wati, mengatakan bebrapa keuntungan dari penerapan BO oleh Pemerintah. Menurut Diani, dengan melaporkan BO, perusahaan tidak dikenakan pajak berganda. Selain itu dapat mencegah aktivitas yang mengarah kepada korupsi, pencucian uang, aktivitas keuangan yang mendukung terorisme dan sebagainya.

 

Selain itu, ia mengungkapkan bahwa BO juga dapat mencegah risiko lebih jauh tentang transfer pendanaan terorisme. Mencegah adanya conflict of interest dan larinya perusahaan-perusahaan terhadap kewajiban berbagai keuangan negara, seperti membayar pajak, meningkatkan kepercayaan investor dan aktivitas perekonomian yang dilakukan.

 

“Serta memudahkan pencarian identitas dan pembuktian tindak pidana pencucian uang, serta memaksimalkan pemulihan aset dari pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang,” ujar Diani.

 

Direktur Hukum PPATK Fithriadi Muslim mengatakan bahwa kebutuhan domestik untuk perusahaan lebih transparan terkait BO sudah sangat tinggi. Dari aspek pencegahan terhadap dampak, pelaporan BO dapat melindungi investor dari korporasi yang diduga sebagai media pencucian uang. Selain itu akan mempersulit pelaku tindak pidana melakukan pencucian uang melalui pendirian korporasi, dan membantu instansi berwenang untuk melakukan monitoring terhadap aktivitas korporasi.

 

Sementara dari sisi pemberantasan, pelaporan BO akan mempermudah penegak hukum dalam melakukan penelusuran hasil tindak pidana. “Selain itu juga membantu pengungkapan aktor intelektual’ dari suatu tindak pidana serta melindungi korporasi yang beriktikad baik,” ujar Fithriadi.

 

Partner pada Assegaf Hamzah & Partner (AHP), Chandra Hamzah, mengatakan kriteria dari BO merupakan orang perorangan yang memiliki saham lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; memiliki hak suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun.

 

Selanjunya memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris; memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun; menerima manfaat dari perseroan terbatas.

 

“Dan/atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas,” ungkap Chandra.

 

Tags:

Berita Terkait