Akademisi Ungkap Kelemahan Pemilu Serentak
Berita

Akademisi Ungkap Kelemahan Pemilu Serentak

Potensi masalah jika pilpres dua putaran.

M-16
Bacaan 2 Menit
Akademisi Ungkap Kelemahan Pemilu Serentak
Hukumonline
Putusan MK dalam perkara pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres)masih menjadi pembicaraan hangat di ruang publik. Salah satu forum yang turut mengangkat kontroversi dari Putusan MK tersebut adalah acara diskusi terbuka yang diadakan oleh Djokosoetono Research Centre di Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok, Senin (17/2).

Dalam acara diskusi, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Fitra Arsil menjelaskan penyelenggaraan pemilu dikatakan serentak jika pemilihan presiden putaran pertama atau satu-satunya putaran dalam pemilihan presiden dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan anggota legislatif.

Pemilu serentak, kata dia, menjadikan sistem presidensial efektif. Pasalnya, dengan pemilu serentak, maka seorang presiden terpilih akan memperoleh dukungan yang besar di lembaga legislatif. “Pemilu serentak menguntungkan partai yang memiliki calon presiden,” ujarnya.

Menurut Fitra, Indonesia dapat mencontoh pelaksanaan pemilu serentak yang banyak digelar di kawasan Amerika Latin. Dia menyebut, sekitar 12 dari 18 negara di kawasan Amerika Latin sudah menerapkan pemilu serentak.

“Indonesia seharusnya berkaca kepada Amerika Latin, bukan Amerika (Serikat). Amerika bukanlah negara multipartai, sedangkan Amerika Latin merupakan negara multipartai,” kata Fitra.

Fitra berpendapat, pelaksanaan pemilu serentak berpotensi menjadi masalah jika pilpres berlangsung dua putaran. Menurut Fitra, pilpres dua putaran akan membawa konsekuensi banyaknya pasangan capres-cawapres yang bertarung. Dampak lanjutannya adalah parlemen akan terfragmentasi cukup tinggi karena konfigurasi ini memberikan peluang kepada banyak partai untuk mendudukkan calonnya di parlemen.

Apabila banyak partai di parlemen, maka kemungkinan munculnya partai dominan menjadi kecil dan terjadi fragmentasi yang tinggi (multipartism). Dengan demikian, lanjut Fitra, konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi sulit.

“Harapan menghasilkan struktur parlemen yang kongruen dan dukungan legislatif yang kepada presiden dapat terhambat jika pemilihan presiden dua putaran masih berlaku,” papar Fitra.

Dari segi daya tahan koalisi, kata Fitra, pemilu serentak yang akan dipadukan dalam pemilihan presiden dua putaran juga akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi koalisi.

“Karakter koalisi di putaran kedua tentu banyak didominasi pilihan-pilihan pragmatis daripada agenda kebijakan dan program memerintah karena koalisi lebih terpengaruh suara,” ujarnya.

Merujuk pada Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres, pelaksanaan pilpres memang dimungkinkan dua putaran jika tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Dalam acara yang sama, Kevin Evans memuji proses pembentukan partai di Indonesia. Pendiri www.pemilu.asia ini berpendapat partai di Indonesiaterbentuk atas dasar ideologi dan gagasan untuk mencapai cita-cita yang ada di Pembukaan UUD 1945. Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia yang partainya berdasarkan identitas atau etnis.

“Koalisi seperti ini (partai berdasarkan identitas atau etnis, red) bisa merusak gagasan dan ide yang dimiliki oleh partai dalam proses pengabdian kepada Indonesia,” papar Kevin.
Tags:

Berita Terkait