Akademisi Kritik Fatwa MUI tentang BPJS
Berita

Akademisi Kritik Fatwa MUI tentang BPJS

Ada kemungkinan salah persepsi tentang jaminan kesehatan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Salah satu kantor cabang BPJS Kesehatan. Foto: RES
Salah satu kantor cabang BPJS Kesehatan. Foto: RES
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan penyelenggaraan program BPJS Kesehatan –program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)—tak sesuai syariah. MUI berpendapat JKN mengandung unsure gharar, maisir, dan riba, Namun tak semua orang setuju dengan fatwa MUI tersebut.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, justru menganggap JKN sejalan dengan prinsip syariah Islam. “JKN menurut saya lebih Islami daripada takaful (asuransi syariah—red),” ucapnya dalam sebuah diskusi di kampus UI Depok, Jum’at (07/8).

Prof. Hasbullah menduga ada kekeliruan cara pandang terhadap JKN. Bisa jadi MUI menduga JKN sebagai bisnis atau transaksi perdagangan pada umumnya. Jika sudut pandang itu yang dipakai, praktis akan dilihat tak sesuai syariah. Tetapi jika program dengan 149 juta peserta itu dilihat dengan benar, ini justru sejalan dengan nilai kegotongroyongan yang diusung oleh agama. Dalam JKN, peserta yang sehat membantu peserta yang sakit. Bukankah itu sesuai dengan ajaran agama?

Komisi Fatwa MUI menyebut JKN mengandung gharar. Istilah ini mengandung arti suatu kegiatan bisnis yang tidak jelas kuantitas, kualitas, harga dan waktu terjadinya transaksi. Maisir berarti bersifat perjudian,  untung-untungan atau spekulasi. Riba berarti  kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).

Menurut Hasbullah gharar, maisir dan riba hanya terjadi pada transaksi dagang atau bisnis. JKN adalah program negara sebagai konsekuensi “kontrak” bernegara yang kontrak dasarnya adalah UUD RI 1945. Kemudian kontrak khusus yang setara akad diatur dalam UU. “Dalam UU SJSN disebutkan jelas bahwa SJSN adalah program negara untuk memberikan kepastian perlindungan,” ujarnya.

Untuk melaksanakan program JKN, PT Askes yang tadinya persero diubah menjadi BPJS Kesehatan yang berbentuk badan hukum publik. Hasbullah mengatakan dengan begitu ada perubahan tujuan dari yang mencari untung untuk perusahaan karena berbentuk persero menjadi badan hukum publik yang mengelola dana amanat untuk kepentingan seluruh peserta. Hasbullah menyebut Pasal 1 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan iuran yang terkumpul dan hasil pengembangannya adalah milik dan untuk peserta.

Dana amanat yang dikelola BPJS Kesehatan menurut Hasbullah seperti akad dalam takaful yakni sebagai dana bersama. Sebagai badan hukum publik BPJS Kesehatan tidak mencari untung (profit). Hasbullah menjelaskan tidak ada yang mengambil untung dari iuran JKN, itu sama seperti pajak spesifik/khusus. Oleh karenanya tidak ada ketidakjelasan akad dalam JKN karena apa yang dirumuskan dalam UU merupakan polis atau akad JKN. “Jika iuran JKN dinilai transaksi gharar dan maisir, maka transaksi pembayaran pajak juga gharar dan maisir,” papar Hasbullah.

Begitu pula soal denda bagi peserta JKN yang telat membayar iuran disebut komisi fatwa MUI sebagai riba. Bagi Hasbullah, riba itu nilai tambah yang tidak wajar dalam suatu transaksi. Jika denda dianggap riba maka banyak hal yang tergolong riba seperti denda bagi pelanggan PLN yang menunggak iuran. Kemudian, sebagian besar dana APBN yang disimpan di bank konvensional dengan pemahaman itu berarti APBN mengandung riba.

Atas dasar itu Hasbullah menilai JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan nilai-nilai agama. Sehingga tidak perlu lagi membentuk JKN Syariah. Jika JKN Syariah tetap dibentuk maka akan memunculkan pandangan antara Syariah dan tidak.

Dosen Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi UI, Banu Muhammad, menjelaskan jika suatu asuransi menerapkan prinsip Islam, maka mekanismenya adalah sebuah perusahaan asuransi mengumpulkan masyarakat yang mau menjadi peserta. Kemudian antar pihak menjalin perjanjian atau akad, berapa besaran uang yang akan dikumpulkan dari masing-masing peserta untuk saling membantu. Perusahaan yang mengelola dana itu bisa memungut fee sesuai perjanjian.

Untuk denda, Banu menjelaskan, asuransi yang menerapkan prinsip Islam tidak menggunakan denda yang diperoleh  untuk perusahaan asuransi bersangkutan. Denda itu dikumpulkan kemudian disalurkan pada kegiatan sosial seperti di panti sosial. “Kalau denda itu digunakan untuk perusahaan asuransi yang mengelola dana asuransi itu maka riba,” ucapnya.

Banu mengusulkan agar perjanjian atau akad program JKN dibenahi agar peserta yang menginginkan JKN syariah bisa dengan tenang menjadi peserta. Akad penting karena menentukan syariah atau tidaknya program yang diikuti oleh peserta.

Mengingat ada pertemuan antara BPJS Kesehatan, MUI dan pemerintah di gedung OJK beberapa waktu lalu Banu berharap ada perkembangan positif untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sehingga dibentuk program JKN yang bisa mengakomodasi sebagian masyarakat yang menginginkan prinsip syariah dalam JKN. Untuk itu perlu dibentuk JKN syariah.
Tags:

Berita Terkait