Akademisi Kritik Efektivitas UU PPHI, Begini Jawaban Pemerintah
Utama

Akademisi Kritik Efektivitas UU PPHI, Begini Jawaban Pemerintah

Simposium hukum ketenagakerjaan yang digelar di Bandung mengungkap beragam pandangan tentang Pengadilan Hubungan Industrial.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Ida berpendapat tata cara eksekusi PB dan putusan PHI harus ditempatkan langsung di bawah PHI. Sehingga eksekusi tidak rumit dan tidak melibatkan banyak lembaga yang berbeda. Dia yakin dengan begitu peluang keberhasilan eksekusi lebih besar.  

 

Direktur PPHI, John W Daniel Saragih, memandang pelaksanaan UU PPHI selama ini sudah efektif dan belum diperlukan perubahan. "Menurut kami UU PPHI masih efektif untuk digunakan, butuh penilaian yang mendalam apakah UU PPHI perlu direvisi atau tidak," kata John dalam kegiatan Simposium Nasional Hukum Ketenagakerjaan yang dilaksanakan di Universitas Parahyangan, Bandung, Kamis (26/7).

 

John mengatakan masalah hubungan industrial yang terjadi disebabkan banyak faktor seperti tidak terjalin komunikasi yang baik antara buruh dan pengusaha. Hal paling utama yang perlu dilakukan para pihak yang berselisih yakni berunding secara bipartit. Mencari solusi dengan musyawarah dan mufakat. Melalui dialog sosial itu diharapkan perselisihan Ketenagakerjaan yang meliputi perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat di satu perusahaan dapat dicegah atau dituntaskan.

 

(Baca juga kolom: Akhir dari Problem Upah dan Penerapan PHK karena Kesalahan Pasca Putusan MK)

 

Jika kedua pihak sudah melaksanakan perundingan bipartit tapi belum mampu memecah masalah, John mengatakan pemerintah akan turun tangan membantu penyelesaian lewat mediasi. Dia mencatat dalam beberapa tahun ini para pihak, khususnya kalangan buruh enggan menyelesaikan perselisihan sampai pengadilan karena prosesnya lama dan belum tentu menang. Mereka cenderung memilih  mediasi di dinas ketenagakerjaan baik  tingkat kabupaten/kota atau provinsi.

 

John menghitung sedikitnya ada 3 faktor yang mempengaruhi proses mediasi. Pertama, individu yaitu mediator, jumlahnya sangat terbatas kurang dari 900 personil. Beberapa sebab minimnya jumlah mediator yaitu minat untuk menjadi petugas mediator sangat rendah, sekalipun ada petugas mediator di suatu wilayah tapi posisinya rentan dipindahkan ke dinas lain oleh kepala daerah setempat. Mekanisme lain untuk menyelesaikan PPHI yaitu konsiliasi dan arbitrase jumlah petugasnya jauh lebih sedikit ketimbang mediator.

 

Kedua, instansi, John mengatakan pihaknya mendorong pemerintah daerah merekrut mediator. Petugas mediator di daerah menjadi ujung tombak untuk menjaga tercipta ya hubungan Industrial yang harmonis, oleh karenanya kepala daerah harus memberi perhatian serius. Ketiga, norma yang diatur UU PPHI, banyak kalangan menilai mekanisme penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan saat ini sangat panjang mulai dari bipartit sampai Peninjauan Kembali (PK) di MA. Oleh karenanya ada usulan agar mekanisme itu dipangkas.

 

Namun John berpendapat proses revisi UU PPHI bakal menghabiskan waktu yang lama. Sampai saat ini UU PPHI masih efektif dalam menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan dibandingkan dengan regulasi sebelumnya seperti UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK Di Perusahaan Swasta. Salah satu kelebihan UU PPHI yaitu mengatur jangka waktu penyelesaian perselisihan untuk setiap tahapan sehingga lebih memberi kepastian hukum kepada para pihak.

Tags:

Berita Terkait