Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden
Utama

Akademisi Ini Sebut UU Cipta Kerja Tak Boleh Direvisi Setelah Ditandatangani Presiden

Karena tak ada peraturan yang membolehkan merevisi UU setelah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara. Secara konstitusional, Presiden disarankan dapat membentuk Perppu untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Jokowi. Foto: RES

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja baru saja diteken Presiden Joko Widodo, Senin (2/11/2020) kemarin. Tapi, naskah UU yang terdiri dari 15 Bab, 186 pasal, dengan 1.187 halaman yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI (LNRI) Tahun 2020 Nomor 245 ini masih saja ditemukan kesalahan rujukan pasal yang dinilai mempengaruhi substansi. Salah satu yang menjadi sorotan publik Pasal 6 dan Pasal 175 UU Cipta Kerja.  

Pasal 6 berbunyi “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha; c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan d. penyederhanaan persyaratan investasi.”

Jika merujuk Pasal 5 tidak ditemukan satu ayat pun. Pasal 5 UU Cipta Kerja tanpa ayat ini berbunyi “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.” Lalu, belakangan ternyata Pasal 5 ayat (1) ditemukan dalam naskah UU Cipta Kerja versi 905 halaman yang disahkan DPR di sidang paripurna pada 5 Oktober 2020 lalu. Di versi naskah 905 halaman, Pasal 5 ayat (1) berbunyi:

(1) Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. ketenagakerjaan; c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M; d. kemudahan berusaha; e. dukungan riset dan inovasi; f. pengadaan tanah; g. kawasan ekonomi; h. investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional; i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan; j. pengenaan sanksi.

Selain Pasal 6, kesalahan merujuk pasal/ayat lain terdapat dalam Pasal 175 UU Cipta Kerja di halaman 756-757 yang mengubah Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pada Pasal 53 ayat (5) berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden". Seharusnya Pasal 53 ayat (5) itu merujuk pada ayat (4), bukan ayat (3) seperti yang tertulis dalam naskah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini.  

Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura mengaku kesal dengan cara pembuatan UU Cipta Kerja termasuk setelah ditandatangani Presiden. Sebab, UU Cipta Kerja yang sudah ditandatangani Presiden pun masih terdapat kesalahan redaksional pasal atau kesalahan merujuk pasal yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

“UU Cipta Kerja ini error in redaction yang dibuatnya tanpa etika,” ujar Charles saat dihubungi Hukumonline, Selasa (3/11/2020). (Baca Juga: Sah! Presiden Teken UU Cipta Kerja)

Charles memperkirakan kesalahan merujuk pasal itu hanya satu dari beberapa kejanggalan dalam UU Cipta Kerja yang sudah ditandatangani Presiden. Dia menduga pemerintah bakal merevisi lagi UU Cipta Kerja ini pada cetakan berikutnya. “Nanti mereka diam-diam bikin cetakan baru seolah tak ada kejadian. Kemudian yang beredar dibilang ‘abal-abal’. Yang menggunakan nomor kan cuma halaman 1. Berikutnya dicetak lagi, kan tak ada yang tahu,” ujarnya.

Dia menilai proses pembentukan yang ugal-ugalan menghasilkan produk yang abal-abal. Seharusnya ada pertanggungjawaban moral dari para ahli hukum di lingkaran istana. “Bikin UU kok kayak bikin tugas kuliah (sering direvisi, red). Padahal ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kritiknya.

Menurutnya, terhadap UU yang telah ditandatangani Presiden tak lagi boleh direvisi. Sebab, tak ada peraturan yang membolehkan merevisi UU yang telah ditandatangani Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara. Artinya, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur perbaikan UU setelah ditandatangani Presiden.    

“Tapi, melihat jejak proses pembuatan UU Cipta Kerja hingga pengesahan, pemerintah nampaknya bakal melakukan hal serupa (merevisi lagi, red),” sindirnya.

Batal demi hukum

Sepengetahuan Charles sepanjang Indonesia berdiri, pembuatan UU Cipta Kerja pertama dalam sejarah yang dibuat ugal-ugalan. Bahkan, di era Orde Baru pun belum pernah ada kejadian seperti pembuatan UU Cipta Kerja ini. Dia menilai bila Pasal 6 UU Cipta Kerja tetap dipaksakan berlaku, rumusan normanya tak dapat dilaksanakan. Akhirnya, menimbulkan kekosongan hukum atau ketidakpastian akibat ketidaksinkronan pasal.

“Dimana-mana kalau cacat formil kan batal demi hukum. Meskipun sebagian menyatakan batal demi hukum harus dengan penetapan pengadilan (dapat dibatalkan). Bagi saya sudah batal demi hukum itu ya batal dengan sendirinya tanpa putusan pengadilan,” kata dia.

Charles berharap Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir meluruskan persoalan pembentukan UU yang ugal-ugalan ini. Bila MK membiarkan dan melegalkan praktik pembentukan UU Cipta Kerja ini bakal hancurnya negara hukum. MK harus menjadi bagian dalam menjaga objektivitas UU dari aspek formil ataupun materil.

“MK mesti mempertimbangkan pengajuan uji formil secara teliti dan mendalam. Bila membiarkan UU Cipta Kerja tanpa adanya koreksi, pertanda rusaknya negara hukum. Kalau demikian, MK akan menjadi bagian dari runtuhnnya negara hukum,” ujarnya.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi menilai meski telah diundangkan dan sah berlaku, UU Cipta Kerja masih menuai kesalahan perumusan yang berdampak terhadap substansial pasal. Selain Pasal 6 yang merujuk pada Pasal 5 ayat (1) yang notabene tak memiliki ayat satupun, terdapat Pasal 175 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 53 ayat (5) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang tertulis merujuk pada ayat (3), semestinya merujuk pada ayat (4).

Pasal 175 yang mengubah Pasal 53 UU 30/2014 

(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)', Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

“Temuan kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, tetapi perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas,” katanya.

Fajri berpandangan menelaah lebih dalam kesalahan perumusan tersebut merupakan bentuk pelanggaran “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur Pasal 5 huruf f UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini semakin menunjukan UU Cipta Kerja mengandung cacat formil. Karena itu, MK harus mempertimbangkan secara serius menindaklanjuti permohonan uji formil UU Cipta Kerja ini.

Menurutnya, permasalahan dalam perumusan UU berupa salahnya merujuk pasal, pernah terjadi sebelumnya ketika pemerintah mengaku adanya kesalahan redaksioinal dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Ketentuan pidana dalam Pasal 116 ayat (4) seharusnya merujuk pada Pasal 80, tetapi rujukan yang tertulis adalah Pasal 83. Akibatnya, ketentuan pidana itu tidak bisa dilaksanakan dan pasal itu dimohonkan pengujian ke MK.

“Dalam kaitannya dengan UU Cipta Kerja, temuan kesalahan penulisan di bagian awal ini tidak menjamin hanya itu permasalahan redaksional yang ada dalam UU Cipta Kerja,” kata dia menduga.

Pembentuk UU, DPR dan Presiden harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi dalam proses legislasi UU Cipta Kerja ini. Tak hanya dari segi teknis penulisan, tapi juga substansi yang masih terus dipermasalahkan.

Dia menilai secara konstitusional, Presiden dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja. Namun, langkah itupun tetap tak memberikan jalan keluar atas kerusakan yang telah terjadi akibat buruknya proses legislasi dalam setiap tahap pembentukan UU “sapu jagat” ini.

“Kesalahan-kesalahan redaksional dan praktik buruk dalam proses pembentukan UU  merupakan bukti yang terang benderang bagi MK untuk menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil, sehingga harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum untuk seluruhnya,” harapnya.

Sementara juru bicara presiden, Fadjroel Rahman saat dikonfirmasi soal kesalahan merujuk pasal dalam UU Cipta Kerja, tak merespon. Sementara Deputi Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet, Satya Bhakti Parikesit enggan menjawab lebih jauh. Dia merasa tidak berkompeten menjawab.

Akui ada kesalahan  

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui ada kesalahan teknis dalam UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. "Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif, sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno di Jakarta, Selasa (3/11/2020) seperti dikutip Antara.

UU Cipta Kerja tersebut resmi diundangkan dengan mendapat nomor Lembaran Negara (LN) 245 dan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN) 6673 setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020. "Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi," kata Pratikno.

Pratikno pun mengakui bahwa setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR, kementeriannya masih mendapatkan sejumlah kesalahan dan telah berusaha memperbaikinya. "Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis. Kemensetneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya,” katanya.

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait