Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja
Utama

Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja

Akibatnya masyarakat sulit membaca dan memahami RUU Cipta Kerja yang isinya memuat 79 UU dengan lebih dari 1.200 pasal terdampak. Sementara Kadin menilai RUU Cipta Kerja bentuk terobosan yang coba diterbitkan pemerintah mengingat paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan selama ini dirasa belum berdampak signifikan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
ilustrasi penyusunan peraturan. BAS
ilustrasi penyusunan peraturan. BAS

Pasca pemerintah mengirimkan naskah akademik dan draf RUU Cipta Kerja ke pimpinan DPR, Rabu (12/2) lalu, RUU ini terus menjadi sorotan publik. Sebab, RUU yang diarahkan pada peningkatan kemudahan berusaha dan investasi demi perluasan lapangan pekerjaan ini berimbas banyak sektor ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal, 79 UU dengan 1.203 pasal yang terdampak baik yang dihapus maupun yang diubah.  

 

Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Trisakti Tri Sulistyowati menilai substansi RUU Cipta Kerja tidak mudah untuk dipahami. Menurutnya, masyarakat bingung membaca RUU Cipta Kerja yang isinya memuat 79 UU dengan lebih dari 1.200 pasal terdampak. Berbeda dengan KUHP yang pasalnya banyak, tapi dibagi dalam beberapa buku, sehingga mudah dibaca dan dipahami.  

 

“Masyarakat sulit membaca RUU Cipta Kerja, apalagi memahami substansinya,” kata Tri Sulistyowati dalam acara diskusi bertajuk “Omnibus Law: Perspektif Hukum, Ekonomi, & Ketenagakerjaan” di kampus A Trisakti Jakarta, Rabu (4/5/2020). Baca Juga: RUU Cipta Kerja Potensial Legalkan Pelanggaran Hak Cuti

 

Menurut Tri, selain pasal-pasalnya mencapai ribuan, substansi RUU Cipta Kerja tidak jelas arahnya karena memuat hampir seluruh sektor. Misalnya, judulnya menyebut soal cipta kerja - sebelumnya penciptaan lapangan kerja – tapi menyasar banyak hal, seperti UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Tri menilai ada persoalan dalam sistematika pembentukan RUU Cipta Kerja ini. Seharusnya, kata dia, penyusunan RUU Cipta Kerja ini mengikuti mekanisme yang diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019. Selain itu, sejak awal penyusunan, pemerintah seharusnya mengajak pemangku kepentingan dan kelompok terdampak, serta transparan dalam setiap prosesnya. Tapi, dia melihat hal itu tidak dilakukan.

 

Untuk mencabut/menghapus atau mengubah pasal-pasal dalam UU, menurut Tri harus dilakukan melalui menerbitkan UU baru. Misalnya, “UU tentang Perubahan” atau menerbitkan UU baru yang mencabut UU lama. Tapi RUU Cipta Kerja yang disusun melalui mekanisme omnibus law ini tidak mengikuti pakem pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

“UU itu dibentuk untuk masyarakat. Karena itu, masyarakat harus mudah membaca dan mengerti isi UU tersebut,” kata dia.

 

Dia mengingatkan suatu UU dibentuk secara sistematis dan pasal-pasal yang ada di dalamnya saling berkaitan. Jika satu pasal itu dicabut atau dihapus, maka mempengaruhi pasal lainnya. Begitu pula RUU Cipta Kerja yang mencabut, menghapus, dan mengubah pasal dalam sejumlah UU. Dampaknya, UU yang dicabut, dihapus, atau diubah pasalnya menjadi bolong dan tidak utuh lagi.

 

“Seharusnya hal itu dilakukan dengan menerbitkan UU baru yang membahas substansi yang sama. Bagaimana bunyi judul RUU Cipta Kerja nanti, apakah UU tentang Perubahan atau UU baru yang mencabut UU lama?” 

 

Posisi tak setara

Ketua Pusat Studi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti Andari Yurikosari mengatakan salah satu UU yang terdampak dalam RUU Cipta Kerja yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Andari menyebut ada banyak pasal inti dalam UU No.13 Tahun 2003 yang dicabut, dihapus, dan diubah melalui RUU Cipta Kerja. Misalnya, terkait hubungan kerja yang konsepnya dalam RUU Cipta Kerja menjadi tidak jelas karena “perjanjian kerja” berpotensi dihapus.

 

Kemudian mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK), Andari menilai RUU Cipta Kerja secara umum menyerahkan penyelesaiannya antara kedua belah pihak yakni antara pekerja dan pengusaha. Sebelumnya, dalam UU No.13 Tahun 2003, prinsipnya semua pihak diminta untuk berupaya mencegah terjadinya PHK dan penyelesaiannya melalui mekanisme yang diatur rinci dan bertingkat.

 

“Padahal sudah jelas posisi pekerja dan pengusaha tidak setara, tapi ini akan diposisikan setara sebagaimana hukum perdata,” kritiknya.

 

Andari mengingatkan “napas” UU No.13 Tahun 2003 mengacu Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Andari justru mempertanyakan apa yang menjadi acuan/pedoman RUU Cipta Kerja nantinya karena isinya mengatur banyak sektor.

 

Wakil Ketua Umum Kadin Shinta W Kamdani menilai wajar jika banyak pihak yang mengkritik RUU Cipta Kerja. Omnibus law ini, menurutnya bentuk terobosan yang coba diterbitkan pemerintah mengingat paket kebijakan ekonomi yang pernah diterbitkan selama ini dirasa belum berdampak signifikan. “Kebijakan perizinan OSS saja praktiknya tidak maksimal dan malah sulit pelaksanaannya. Bukan mempermudah malah menambah proses perizinan,” ujarnya.

 

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban melihat pemerintah selalu beralasan pihak yang keberatan dengan RUU Cipta Kerja bisa memberikan masukan di DPR. Menurut Elly, tidak mudah untuk mengusulkan perubahan pasal RUU di DPR. Bagi Elly, sejak awal penyusunan seharusnya pemerintah melibatkan kelompok terdampak antara lain buruh. Tapi kalangan buruh baru diajak untuk masuk dalam tim ketika pemerintah sudah menyerahkan draft dan naskah akademik RUU Cipta Kerja ke DPR.

 

“Kami menolak RUU Cipta Kerja karena substansinya merugikan buruh. Silakan pemerintah mengundang sebanyak-banyaknya investasi, tapi jangan menurunkan tingkat kesejahteraan buruh,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait