Akademisi Ini Ingatkan Bahaya Teknik Omnibus Law bagi Demokrasi
Terbaru

Akademisi Ini Ingatkan Bahaya Teknik Omnibus Law bagi Demokrasi

Tema yang diangkat dalam UU yang menggunakan metode omnibus law terlalu banyak sehingga berpotensi mengabaikan pelibatan pemangku kepentingan secara bermakna.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Bivitri Susanti  (kanan) bersama Koalisi untuk Keadilan Akses Kesehatan konfrensi pers terkait RUU Kesehatan, Selasa (13/6/2023).  Foto: ADY
Bivitri Susanti (kanan) bersama Koalisi untuk Keadilan Akses Kesehatan konfrensi pers terkait RUU Kesehatan, Selasa (13/6/2023). Foto: ADY

Negara yang menganut sistem demokrasi umumnya menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hal yang fundamental. Kekuasaan yang ada dalam negara demokrasi merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Termasuk dalam pembentukan sebuah peraturan perundangan mesti melibatkan masyarakat secara bermakna sebagai bagian dari proses berdemokrasi.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti, mengatakan belakangan ini hukum kerap disalahgunakan untuk kepentingan selain keadilan. Salah satunya RUU Kesehatan yang penyusunannya menggunakan metode omnibus law sepertihalnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Secara politik hukum, setidaknya ada 3 hal yang perlu dicermati terkait RUU Kesehatan. Pertama, mengenai teknik perancangan UU yang harus dicermati karena praktiknya belakangan ini teknik itu digunakan untuk tujuan tertentu misalnya menggunakan metode omnibus law.

“Teknik ini (omnibus law,-red) sebenarnya berbahaya dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis,” katanya dalam konferensi pers organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Keadilan Akses Kesehatan, Selasa (13/6/2023).

Baca juga:

Bivitri mengatakan penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan teknik omnibus law sudah ditinggalkan berbagai negara. Teknik omnibus law memungkinkan perubahan UU dilakukan secara instan. Karenanya, cara ini lebih disukai penguasa yang hendak melakukan perubahan secara instan. Dampaknya, perubahan yang terjadi tidak berkelanjutan karena teknik ini menyembunyikan banyak hal yang harusnya menjadi perhatian publik.

Tema dalam satu RUU yang menggunakan omnibus law terlalu banyak. Bivitri memberikan contoh RUU Kesehatan yang memuat sedikitnya 9 tema mulai dari tenaga kedokteran, medis, sampai BPJS Kesehatan dan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kedua, banyaknya tema yang dibahas dalam satu RUU omnibus law membuat pemangku kepentingan tidak dilibatkan untuk memberikan masukan.

Peneliti senihor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu mengatakan, hal itu terjadi karena tema yang diusung terlalu banyak dan mengejar waktu untuk menyelesaikan RUU tersebut. Karenanya salah satu hal penting yang harus diperhatikan sebelum membentuk aturan menggunakan teknik omnibus law adalah tema yang diangkat tidak boleh beragam, tapi harus satu tema yang sama.

“RUU Kesehatan menempatkan kesehatan sebagai industri, bukan pemenuhan HAM yakni hak atas kesehatan. Politik hukum RUU Kesehatan bisa dilihat dari isi dan materi muatannya,” ujar Bivitri.

Ketiga, metode yang digunakan yakni partisipasi dalam penyusunan RUU Kesehatan harusnya melibatkan banyak pihak tak hanya para tokoh dan pembuat opini. Bivitri melihat Menteri Kesehatan banyak melobi sejumlah tokoh. Tapi seharusnya pemangku kepentingan lain yang didengar masukannya.

Berdasarkan berbagai hal tersebut Bivitri mengusulkan pembahasan RUU Kesehatan ditunda. Pemerintah harus menyusun RUU Kesehatan menggunakan draf baru dengan pelibatan masyarakat yang lebih luas. Apalagi saat ini masuk tahun politik, di mana anggota parlemen sudah tidak fokus lagi pada fungsinya melakukan legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Anggota Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Wiratraman, mengingatkan proses penyusunan RUU Kesehatan harus mencermati putusan MK No.91/PUUXVIII/2020. Putusan MK itu memandatkan tentang partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), tapi juga menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).

Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). “Tapi dari awal kita menyaksikan perjalanan RUU Kesehatan ini jauh dari apa yang dimandatkan dalam putusan MK tersebut,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) FH UGM itu mencatat ada proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap RUU Kesehatan, tapi harusnya yang dilibatkan tak hanya organisasi profesi dan tenaga kesehatan tapi juga yang lainnya karena terkait juga persoalan HAM. Proses pelibatan publik yang sangat terbatas ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik atas komitmen transformasi kesehatan yang digaungkan pemerintah.

“Agar tidak mengulangi kesalahan yang berulang pemerintah dan DPR sepatutnya mempertimbangkan untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait