Akademisi Ini Ingatkan Bahaya Teknik Omnibus Law bagi Demokrasi
Terbaru

Akademisi Ini Ingatkan Bahaya Teknik Omnibus Law bagi Demokrasi

Tema yang diangkat dalam UU yang menggunakan metode omnibus law terlalu banyak sehingga berpotensi mengabaikan pelibatan pemangku kepentingan secara bermakna.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Peneliti senihor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu mengatakan, hal itu terjadi karena tema yang diusung terlalu banyak dan mengejar waktu untuk menyelesaikan RUU tersebut. Karenanya salah satu hal penting yang harus diperhatikan sebelum membentuk aturan menggunakan teknik omnibus law adalah tema yang diangkat tidak boleh beragam, tapi harus satu tema yang sama.

“RUU Kesehatan menempatkan kesehatan sebagai industri, bukan pemenuhan HAM yakni hak atas kesehatan. Politik hukum RUU Kesehatan bisa dilihat dari isi dan materi muatannya,” ujar Bivitri.

Ketiga, metode yang digunakan yakni partisipasi dalam penyusunan RUU Kesehatan harusnya melibatkan banyak pihak tak hanya para tokoh dan pembuat opini. Bivitri melihat Menteri Kesehatan banyak melobi sejumlah tokoh. Tapi seharusnya pemangku kepentingan lain yang didengar masukannya.

Berdasarkan berbagai hal tersebut Bivitri mengusulkan pembahasan RUU Kesehatan ditunda. Pemerintah harus menyusun RUU Kesehatan menggunakan draf baru dengan pelibatan masyarakat yang lebih luas. Apalagi saat ini masuk tahun politik, di mana anggota parlemen sudah tidak fokus lagi pada fungsinya melakukan legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Anggota Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Wiratraman, mengingatkan proses penyusunan RUU Kesehatan harus mencermati putusan MK No.91/PUUXVIII/2020. Putusan MK itu memandatkan tentang partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), tapi juga menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).

Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). “Tapi dari awal kita menyaksikan perjalanan RUU Kesehatan ini jauh dari apa yang dimandatkan dalam putusan MK tersebut,” ujarnya.

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) FH UGM itu mencatat ada proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah terhadap RUU Kesehatan, tapi harusnya yang dilibatkan tak hanya organisasi profesi dan tenaga kesehatan tapi juga yang lainnya karena terkait juga persoalan HAM. Proses pelibatan publik yang sangat terbatas ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik atas komitmen transformasi kesehatan yang digaungkan pemerintah.

“Agar tidak mengulangi kesalahan yang berulang pemerintah dan DPR sepatutnya mempertimbangkan untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait