Akademisi FH Universitas Jember Ingatkan Pentingnya Bahasa dalam Membuat Akta
Utama

Akademisi FH Universitas Jember Ingatkan Pentingnya Bahasa dalam Membuat Akta

Terdapat perbedaan pandangan antar hakim soal penggunaan bahasa dalam akta notaris.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Mohammad Ali dalam seminar nasional yang diselenggarakan FH Universitas Jember bertema 'Kekuatan Hukum Akta Notariil Sebagai Alat Bukti di Pengadilan', Kamis (12/9/2024). Foto: Tangkapan youtube
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Mohammad Ali dalam seminar nasional yang diselenggarakan FH Universitas Jember bertema 'Kekuatan Hukum Akta Notariil Sebagai Alat Bukti di Pengadilan', Kamis (12/9/2024). Foto: Tangkapan youtube

Ada banyak hal yang perlu dicermati kalangan notaris dalam membuat suatu akta. Selain substansinya, ternyata bahasa juga menjadi salah satu faktor penting. Ketelitian dan kecermatan seorang notaris dalam menjalankan tugasnya menjadi hal yang tak boleh diabaikan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Mohammad Ali mengatakan pembuktian akta notariil atau notaris tergolong sempurna karena punya kekuatan bersifat lahiriah, materiil dan formil. Tapi perlu diperdalam apakah akta itu sudah dibuat sesuai peraturan perundang-undangan?. Sebab dalam praktik kadang proses pembentukan akta tak seperti yang diharapkan.

Ali menyebut akta notariil yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dibatalkan, begitu pula tak memenuhi syarat objektif konsekuensinya batal demi hukum. Akta notaris dikecualikan dari informasi dan dokumen elektronik sebagaimana diatur UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

Hal lain yang patut jadi perhatian yakni penggunaan bahasa dalam akta kerap digugat di pengadilan. Sebab ada hal yang ambigu dalam ketentuan yang berlaku yakni Pasal 43 UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur akta dibuat dalam bahasa Indonesia.

Baca juga:

Lebih lanjut, ketentuan itu mengatur dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami notaris dan saksi bila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang UU tidak menentukan lain.

Sedangkan Pasal 31 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan mewajibkan mewajibkan bahasa Indonesia untuk digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta Indonesia atau warga negara Indonesia.

“Ketentuan itu termasuk kontrak yang bersifat privat,” kata Ali dalam seminar nasional yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) bertema Kekuatan Hukum Akta Notariil Sebagai Alat Bukti di Pengadilan, Kamis (12/9/2024).

Pandangan hakim menurut Ali juga beragam dalam menilai penggunaan bahasa. Sebagian hakim berpandangan ketentuan itu imperatif sehingga notaris yang membuat akta dalam bahasa asing dianggap melanggar Pasal 31 UU 24/2009 dan dinyatakan batal demi hukum. Sekalipun bahasa sifatnya bukan substansi soal keabsahan akta, tapi ketentuan Pasal 43 UU 30/2004 tergolong ambigu karena akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia tapi bisa juga dibuat dalam bahasa lain bila pihak yang berkepentingan menghendaki.

Sejumlah putusan pengadilan membatalkan akta yang menggunakan bahasa asing. Menurut Ali hal itu sangat disayangkan karena bahasa tak tergolong substansial, tapi dalam UU 24/2009 itu sebagai kebijakan politik nasional yang harus dipatuhi semua warga negara. Ada pula pendapat berbeda hakim dalam putusan yang menyebut isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bukan soal formalitasnya.

Nah ini ada persoalan ambiguitas kepastian hukum alat bukti notariil di persidangan termasuk sikap hakim menyikapi akta notariil itu sendiri,” urai Ali.

Hak ingkar

Dalam kegiatan itu Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN), Majelis Pembina dan Pengawas IPPAT Pusat (MP3P), Firdhonal, mengatakan notaris punya hak ingkar yang diatur dalam sumpah jabatan notaris sebagaimana Pasal 4 UU 30/2004 yakni merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan.

Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Bahkan untuk kepentingan proses peradilan Firdhonal menjelaskan penyidik, penuntut umum, atau hakim harus mendapat persetujuan Majelis Pengawas Daerah untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris.

Termasuk dalam memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.  Firdhonal mengingatkan notaris untuk berhati-hati dalam menjalankan profesinya sehingga tidak melanggar aturan.

“Notaris hanya dapat menjawab di persidangan bahwa akta itu benar dibuat dihadapan saya. Jadi jangan khawatir digugat,” imbuhnya.

Ada banyak hal yang perlu dicermati kalangan notaris dalam membuat suatu akta. Selain substansinya, ternyata bahasa juga menjadi salah satu faktor penting. Ketelitian dan kecermatan seorang notaris dalam menjalankan tugasnya menjadi hal yang tak boleh diabaikan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Mohammad Ali mengatakan pembuktian akta notariil atau notaris tergolong sempurna karena punya kekuatan bersifat lahiriah, materiil dan formil. Tapi perlu diperdalam apakah akta itu sudah dibuat sesuai peraturan perundang-undangan?. Sebab dalam praktik kadang proses pembentukan akta tak seperti yang diharapkan.

Ali menyebut akta notariil yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dibatalkan, begitu pula tak memenuhi syarat objektif konsekuensinya batal demi hukum. Akta notaris dikecualikan dari informasi dan dokumen elektronik sebagaimana diatur UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

Hal lain yang patut jadi perhatian yakni penggunaan bahasa dalam akta kerap digugat di pengadilan. Sebab ada hal yang ambigu dalam ketentuan yang berlaku yakni Pasal 43 UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur akta dibuat dalam bahasa Indonesia.

Baca juga:

Lebih lanjut, ketentuan itu mengatur dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami notaris dan saksi bila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang UU tidak menentukan lain.

Sedangkan Pasal 31 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan mewajibkan mewajibkan bahasa Indonesia untuk digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta Indonesia atau warga negara Indonesia.

“Ketentuan itu termasuk kontrak yang bersifat privat,” kata Ali dalam seminar nasional yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) bertema Kekuatan Hukum Akta Notariil Sebagai Alat Bukti di Pengadilan, Kamis (12/9/2024).

Pandangan hakim menurut Ali juga beragam dalam menilai penggunaan bahasa. Sebagian hakim berpandangan ketentuan itu imperatif sehingga notaris yang membuat akta dalam bahasa asing dianggap melanggar Pasal 31 UU 24/2009 dan dinyatakan batal demi hukum. Sekalipun bahasa sifatnya bukan substansi soal keabsahan akta, tapi ketentuan Pasal 43 UU 30/2004 tergolong ambigu karena akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia tapi bisa juga dibuat dalam bahasa lain bila pihak yang berkepentingan menghendaki.

Sejumlah putusan pengadilan membatalkan akta yang menggunakan bahasa asing. Menurut Ali hal itu sangat disayangkan karena bahasa tak tergolong substansial, tapi dalam UU 24/2009 itu sebagai kebijakan politik nasional yang harus dipatuhi semua warga negara. Ada pula pendapat berbeda hakim dalam putusan yang menyebut isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bukan soal formalitasnya.

Nah ini ada persoalan ambiguitas kepastian hukum alat bukti notariil di persidangan termasuk sikap hakim menyikapi akta notariil itu sendiri,” urai Ali.

Hak ingkar

Dalam kegiatan itu Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN), Majelis Pembina dan Pengawas IPPAT Pusat (MP3P), Firdhonal, mengatakan notaris punya hak ingkar yang diatur dalam sumpah jabatan notaris sebagaimana Pasal 4 UU 30/2004 yakni merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan.

Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Bahkan untuk kepentingan proses peradilan Firdhonal menjelaskan penyidik, penuntut umum, atau hakim harus mendapat persetujuan Majelis Pengawas Daerah untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris.

Termasuk dalam memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.  Firdhonal mengingatkan notaris untuk berhati-hati dalam menjalankan profesinya sehingga tidak melanggar aturan.

“Notaris hanya dapat menjawab di persidangan bahwa akta itu benar dibuat dihadapan saya. Jadi jangan khawatir digugat,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait