Akademisi dan Praktisi Hukum Tata Negara Khawatirkan Politik Uang
Konferensi HTN ke-5:

Akademisi dan Praktisi Hukum Tata Negara Khawatirkan Politik Uang

Kampanye di tempat pendidikan dan tempat ibadah pidana atau bukan?

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Relasi Pelaku Ekonomi dan Politik Picu Korupsi di Daerah).

Berdasarkan kajian yang dilakukan selama ini, Mada menghimpun beberapa faktor penyebab politik uang di Indonesia. Pertama, faktor politik, pelembagaan parpol yang rendah, pengelolaan parpol yang oligarkis dan transaksional, dan tata kelola keuangan parpol yang tidak transparan dan akuntabel. Bagi calon, politik uang seperti tiket masuk ke arena pemilihan. Kedua, faktor ekonomi. Politik uang terjadi karena ada kebutuhan ekonomi masyarakat dan pengangguran yang tinggi di satu sisi, dan ada pihak yang memenuhi kebutuhan ekonomi sesaat. Ketiga, faktor hukum. Hukum tidak dapat menjangkau praktek politik uang karena kelehaman peraturan perundang-undangan dan rendahnya tingkat penegakan hukum. Keempat, faktor sosial budaya. Ada pihak yang menganggap pemberian dan membalas penerimaan sebagai sesuatu yang lumrah. Masyarakat permisif, menganggap pemberian uang saat kampanye, misalnya, sesuatu yang sudah seharusnya.

Proses penanganan perkara pemilu, apalagi yang menyangkut pidana, juga dianggap lebih lama karena menyandarkan penilaian bukan hanya pada jaksa, tetapi pada penyelenggara dan pengawas pemilu. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan dan waktu yang dihabiskan bisa lebih banyak.

Masalah lain yang mengemuka adalah subjek pelaku tindak pidana yang relatif tidak konsisten. Misalnya, Pasal 523 ayat (1) menyebut subjek hukum ‘setiap pelaksana, peserta, dan atau tim kampanye pemilu’ yang menjanjikan atau memberikan yang atau materi lainnya. Sedangkan, ayat (3) pasal yang sama mengatur subjek hukum ‘setiap orang’. Ayat (1) ditujukan kepada peserta kampanye pemilu, sedangkan ayat (3) ditujukan kepada pemiih.

Kejelasan regulasi menjadi bagian penting yang mengemuka dalam konferensi. Guru Besar Fakultas Hukum UGM Denny Indrayana, misalnya, mengusulkan pentingnya memperbaiki bolong-bolong atau celah yang ada dalam UU Pemilu. Anggota DPR, Arsul Sani, bahkan mengatakan yang perlu direvisi bukan hanya UU Pemilu, tetapi juga UU Parpol dan UU MD3.

Tags:

Berita Terkait