Akademisi Beberkan 3 Persoalan Penggantian Hakim Konstitusi Aswanto
Terbaru

Akademisi Beberkan 3 Persoalan Penggantian Hakim Konstitusi Aswanto

Prinsip utama kekuasaan kehakiman adalah merdeka dari intervensi, campur tangan, dan dianggap bawahan lembaga lain. Hakim konstitusi bukan mewakili lembaga yang mengusulkan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

DPR telah mengganti Hakim Konstitusi Prof Aswanto dengan Guntur Hamzah yang kini menjabat sekjen MK. Mekanisme pergantian itu mendapat sorotan publik terutama dari masyarakat sipil, termasuk akademisi. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mencatat setidaknya ada 3 persoalan dalam perkara itu. Pertama, prinsip utama kekuasaan kehakiman adalah merdeka dari intervensi, campur tangan, dan dianggap bawahan lembaga lain.

Feri menegaskan DPR salah jika menganggap hakim konstitusi adalah wakil DPR. Tugas DPR hanya mengajukan hakim konstitusi. Posisi hakim konstitusi tetap mandiri sebagaimana mandat Pasal 24 UUD NKRI Tahun 1945 yang menyebut kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

“Jadi tidak beralasan DPR menyatakan hakim konstitusi sebagai wakil mereka,” kata Feri ketika dihubungi, Sabtu (1/10/2022) kemarin.

Kedua, Feri menyebut hakim MK bertugas menguji UU terhadap konstitusi. Jika suatu UU dinilai tidak sesuai konstitusi, maka itu cara hukum yang dilakukan hakim MK untuk melindungi atau menjaga konstitusi. Oleh karena itu, anggota DPR tidak boleh menyalahkan hakim MK jika membatalkan UU yang bertentangan dengan konstitusi. Tapi penggantian ini menunjukkan Aswanto melindungi konstitusi, sehingga membuat DPR tidak nyaman.

“Aswanto termasuk salah satu hakim MK yang menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat,” ujarnya.

Ketiga, penggantian hakim dengan menunjuk hakim konstitusi baru menurut Feri tidak dapat dibenarkan. Prosedur yang dilakukan harusnya melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Proses penunjukan hakim baru tidak sesuai UU MK. Prosedural ini harus dilakukan dengan taat pada kewenangan, tidak mencampur aduk kewenangan dan tidak bertindak sewenang-wenang.

“Ini yang terjadi ada 2 hal yakni yang dilakukan tidak sesuai wewenang, tapi secara sewenang-wenang,” imbuhnya.

Mengingat proses penggantian hakim MK yang dilakukan DPR tidak sesuai prosedur, Feri menegaskan proses tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal demi hukum. “Catatan penting terhadap DPR yakni lembaga itu telah mengobok-obok MK untuk menjalankan kepentingan politik mereka,” tegasnya.

Feri yakin penggantian hakim konstitusi Prof Aswanto oleh DPR ini berdampak terhadap penanganan pengujian UU ke depan yang dilakukan MK. Para hakim konstitusi berpotensi khawatir untuk membatalkan UU yang bertentangan dengan konstitusi karena posisi mereka terancam diganti.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, menilai penggantian hakim konstitusi Aswanto melanggar UU, merusak independensi hakim, dan kelembagaan MK. Mengacu UU MK revisi ketiga mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau mencapai usia 70 tahun. Sekalipun diberhentikan di tengah jalan, Ismail mengatakan itu bisa dilakukan jika yang bersangkutan tersandung pelanggaran etik atau melakukan pidana. Pemberhentian itu dilakukan melalui keputusan dewan etik MK.

Ismail melihat salah satu alasan DPR mengganti Prof Aswanto dengan Guntur Hamzah yakni adanya aduan masyarakat dan tindakan Aswanto dalam memutus perkara yang tidak sejalan dengan kehendak DPR sebagai pembentuk UU. Alasan itu menurut Ismail tak hanya keliru, tapi juga merusak MK karena DPR menganggap 3 orang hakim MK dari jalur DPR adalah wakilnya, sehingga harus berkomitmen mengamankan produk DPR dengan cara tidak membatalkan UU.

Proses pengisian jabatan hakim MK dari 3 cabang kekuasaan yakni DPR, Presiden, dan MA, menurut Ismail bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan masing-masing institusi tersebut. Tapi memastikan independensi, integritas dan kontrol berlapis eksistensi MK, karena posisinya sebagai Peradilan Konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.

“Pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta. Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan Presiden, karena posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU,” kata Ismail dalam keterangannya, Jum’at (30/10/2022).

Tags:

Berita Terkait