Akademisi: Putusan MK Berpotensi Meningkatkan Disparitas Putusan Pidana
Terbaru

Akademisi: Putusan MK Berpotensi Meningkatkan Disparitas Putusan Pidana

Sanksi pidana yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masuk kategori strategis dan berdampak luas. Dampaknya bisa membingungkan pengacara, jaksa, dan hakim dalam menangani perkara pidana.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Selanjutnya, akan menimbulkan pertanyaan di masyarakat ketika perbuatan pidana yang terjadi setelah putusan itu yang berlaku UU No.11 Tahun 2020 atau peraturan sebelumnya. Apalagi ada pandangan yang berpendapat mengacu amar nomor 7 putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 itu berarti UU No.11 Tahun 2020 masih memiliki daya laku, tapi tidak punya daya ikat.

Beberapa contoh pengenaan sanksi pidana dalam UU No.11 Tahun 2020, misalnya Pasal 81 angka 62 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 184 UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja dalam program pensiun. Jika terjadi suatu perkara terkait ketentuan itu, maka untuk meringankan terdakwa yang digunakan adalah UU No.11 Tahun 2020.

UU No.11 Tahun 2020 juga mengubah ketentuan pidana dalam Pasal 52 UU Migas dimana sebelumnya mengatur larangan eksploitasi jika tidak ada kontrak kerja sama. Tapi, UU No.11 Tahun 2020 menambah syarat menjadi tanpa izin berusaha dan kontrak kerja sama. Jika berbagai persoalan ini tidak dibenahi, Akbar yakin akan meningkatkan disparitas putusan pengadilan karena akan ada hakim yang menggunakan UU No.11 Tahun 2020 dan ada juga yang menggunakan aturan sebelumnya.

Selain berbagai persoalan itu, setelah Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, Akbar berpendapat ada beberapa ketentuan yang harus diperbaiki. Antara lain harmonisasi ketentuan pidana dimana ada perumusan menggunakan kumulatif, alternatif, atau alternatif-kumulatif. Hal ini akan menimbulkan masalah dalam pemidanaan.

Kemudian dekriminalisasi ketentuan pidana cenderung pada investasi misalnya di bidang ketenagakerjaan dan lingkungan hidup. Terakhir, ketentuan pidana yang berdasarkan pada ultimum remedium, primum remedium, atau double track system bakal menyebabkan kerancuan dalam penegakan hukum.

Akbar menegaskan perlunya solusi untuk menegaskan apakah UU No.11 Tahun 2020 tetap dapat dijadikan dasar pemidanaan? Jika itu tidak dilakukan berpotensi meningkatkan disparitas putusan di lapangan kerena ini diserahkan kepada hakim. Jika masuk keadaan genting dan mendesak, pemerintah perlu membuat Perppu yang menegaskan tafsir amar nomor 7 putusan MK ini untuk melaksanakan UU No.11 Tahun 2020 di lapangan.

“Perbaikan UU No.11 Tahun 2020 sebaiknya tidak sekedar procedural, tapi juga memperbaiki substansi secara komprehensif,” sarannya.

Dalam kesempatan yang sama, Pengajar Hukum Administrasi Negara FH UGM, Hendry Julian Noor, mengatakan putusan MK itu menyebut pemerintah dan DPR perlu memperbaiki cara pembentukan UU No.11 Tahun 2020. Menurutnya perbaikan yang perlu dilakukan tidak hanya formil, tapi juga substansinya. “Jika memungkinkan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 perlu menyasar substasinya.”

Dia menerangkan hukum administrasi negara itu berangkat pada asas bestuur zord, semua harus ditujukan untuk kesejahteraan umum. Catatan positif terhadap substansi UU CK ini memperbaiki atau mendudukan posisi diskresi pada posisi sebagaimana mestinya. Kalau baca pendapat ahli mengenai diskresi boleh, diskresi kadang menabrak hukum.

“Bisa jadi diperiksa PTUN atau peradilan umum atau khusus, seperti tipikor. Diskresi ini sebenarnya pelaksanaan AUPB, kadang menabrak aturan. Maka pengaturan UU Cipta Kerja terhadap diskresi sudah tepat.”

Tags:

Berita Terkait