Akademisi: Lebih Baik Revisi PP Ketimbang Permenaker JHT
Utama

Akademisi: Lebih Baik Revisi PP Ketimbang Permenaker JHT

Karena PP lebih tinggi posisinya ketimbang Peraturan Menteri. Penyimpangan pembayaran manfaat JHT yang seharusnya dicairkan pada saat buruh masuk usia tua atau pensiun bermula dari terbitnya PP No.1 Tahun 2009.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta, Umar Kasim dalam Bincang-Bincang Premium Stories Hukumonline: Menyoal JHT dan Jaminan Pensiun Bagi Pekerja, Jumat (25/2/2022). Foto: ADY
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta, Umar Kasim dalam Bincang-Bincang Premium Stories Hukumonline: Menyoal JHT dan Jaminan Pensiun Bagi Pekerja, Jumat (25/2/2022). Foto: ADY

Pemerintah berjanji akan merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Rencana revisi Permenaker itu bergulir setelah serikat buruh menuntut pemerintah untuk mencabut atau membatalkan beleid tersebut.

Dosen Hukum Ketenagakerjaan Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta, Umar Kasim, mengusulkan agar yang direvisi itu PP No.46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT sebagaimana telah diubah terakhir melalui PP No.60 Tahun 2015. Beleid itu mengatur pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian bila peserta memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun.

PP No.46 Tahun 2015 mengatur untuk mendapat manfaat JHT secara penuh atau 100 persen syarat yang harus dipenuhi yakni peserta mencapai usia pensiun (56 tahun). Tapi, dalam PP No.60 Tahun 2015 menyebut yang dimaksud “mencapai usia pensiun” termasuk peserta yang berhenti bekerja, seperti mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengundurkan diri.

Lalu, PP itu diatur lebih lanjut dalam Permenaker No.19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT, mengatur manfaat JHT diberikan kepada peserta yang berhenti bekerja setelah melewati masa tunggu 1 bulan. Pengambilan manfaat JHT sampai batas tertentu ini paling banyak 30 persen dari total jumlah JHT untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10 persen untuk keperluan lain dalam rangka persiapan memasuki masa pensiun.

Menurut Umar, terbitnya Permenaker No.2 Tahun 2022 mengembalikan mekanisme pembayaran manfaat JHT itu pada PP No.46 Tahun 2015. “Posisi PP kan lebih tinggi daripada Peraturan Menteri. Karena itu, lebih baik yang direvisi PP JHT ketimbang Permenaker No.2 Tahun 2022,” kata Umar Kasim dalam Bincang-Bincang Premium Stories: Menyoal JHT dan Jaminan Pensiun Bagi Pekerja, Jumat (25/2/2022).

(Baca Juga: Sederhanakan Aturan Klaim, Pemerintah Revisi Permenaker JHT)

Umar menerangkan penyimpangan pembayaran manfaat JHT yang seharusnya dicairkan pada saat buruh masuk usia tua atau pensiun bermula dari terbitnya PP No.1 Tahun 2009 tentang Perubahan Keenam atas PP No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Beleid itu mengatur peserta yang berhenti kerja sebelum mencapai usia 55 tahun dengan masa kepesertaan paling rendah 5 tahun dapat menerima manfaat JHT secara sekaligus.

Manfaat JHT sebagaimana diatur PP No.1 Tahun 2009 itu diberikan setelah peserta melewati masa tunggu 1 bulan. “PP No.1 Tahun 2009 ini awal dari persoalan JHT yang berlarut sampai sekarang,” sebutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait