Akademisi: Hapus Kerugian Negara dari Unsur Korupsi
Berita

Akademisi: Hapus Kerugian Negara dari Unsur Korupsi

Agar jaksa lebih mudah menjerat koruptor. Unsur kerugian negara cukup dijadikan sebagai pemberat.

ALI
Bacaan 2 Menit
Yunus Husein. Foto: SGP
Yunus Husein. Foto: SGP

Bagaimana hakim memutus seseorang melakukan tindak pidana korupsi? Caranya adalah memastikan apakah perbuatan orang tersebut memenuhi tiga unsur yang terdapat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tiga unsur itu adalah ‘melawan hukum’, ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain’, dan ‘adanya kerugian keuangan negara’.

Akademisi dan aktivis anti korupsi meminta agar unsur ‘merugikan keuangan negara’ dihilangkan sebagai salah satu unsur orang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang berlaku saat ini.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Yunus Husein mengatakan di dalam praktik, pembuktian unsur kerugian keuangan negara cukup sulit. Ada banyak lembaga –seperti BPK dan BPKP- yang berwenang menghitung itu, di samping ada juga kantor akuntan publik.

“Dan kadang-kadang, di antara para ahli, hitungan kerugian keuangan negaranya pun berbeda-beda,” tuturnya dalam diskusi di ICW, Jakarta, Jumat (27/9).

Selain itu, definisi keuangan negara yang terlalu luas juga bisa bermasalah. Tersangka koruptor bisa saja ‘bersembunyi’ di balik unsur tersebut. Salah satu yang menjadi perdebatan selama ini adalah korupsi di BUMN. Apakah aset dan kekayaan BUMN merupakan keuangan negara atau tidak, terus menjadi perdebatan di kalangan para ahli hingga saat ini.

“Karenanya, unsur kerugian negara dalam perkara korupsi sebaiknya dihilangkan saja dalam UU Tipikor,” tegasnya.

Mantan Kepala PPTAK ini menilai memang akan ada konsekuensinya jika kerugian negara dihilangkan sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Salah satu konsekuensi itu, otomatis pidana uang pengganti tak bisa lagi dijatuhkan kepada terpidana korupsi.

Namun, lanjut Yunus, bukan berarti usaha pengembalian aset tak bisa dilakukan. Menurut Yunus, jaksa dan hakim bisa mengejar aset para koruptor itu dengan melakukan penyitaan sejak awal atau menjatuhkan hukuman denda. “Contohnya kasus Djoko Susilo. Tak ada uang pengganti, tapi aset dan harta kekayaannya sudah terlebih dahulu disita oleh jaksa,” ujarnya.

Yunus berpendapat unsur ‘kerugian keuangan negara’ bisa saja tetap diatur dalam UU Tipikor, tetapi hanya sebagai alasan pemberat, bukan sebagai unsur utama yang wajib dibuktikan oleh jaksa. “Bila jaksa menemukan adanya kerugian keuangan negara, maka dia bisa menuntut lebih berat lagi,” tambahnya.

Bila ‘kerugian keuangan negara’ tetap ingin dipertahankan dalam undang-undang sebagai pemberat, jelas Yunus, maka definisi keuangan negara harus diperluas. Bukan hanya yang bersifat ekonomi, melainkan juga kerugian negara berupa sumber daya alam atau lingkungan akibat hasil korupsi yang saat ini belum tersentuh.

Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain sepakat bila unsur kerugian keuangan negara hanya sebagai faktor pemberat, bukan unsur utama yang wajib dibuktikan. Ia berharap ketentuan ini diatur dalam RUU Tipikor yang sedang dibahas di DPR saat ini. “Selayaknya dihilangkan dan sebaiknya tidak perlu dimasukan ke dalam RUU,” ujarnya.

Meski begitu, Bahrain mengingatkan upaya menghilangkan unsur kerugian negara ini harus dilakukan secara hati-hati. Misalnya, harus jelas pembedaan antara korupsi dan penggelapan yang sudah diatur dalam KUHP. “Itu harus jelas juga,” tuturnya.

Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho menambahkan standar internasional yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006 juga tak memasukkan kerugian negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Salah satu tujuannya adalah agar lebih mudah menjerat korupsi di sektor swasta.

Tags: