Akademisi: Firma Hukum Tidak Bisa Lakukan Merger
Berita

Akademisi: Firma Hukum Tidak Bisa Lakukan Merger

Namun, bisa bergabung firma satu sama lain dengan cara melakukan perjanjian.

M-23/RIA
Bacaan 2 Menit
Suasana ajang penghargaan firma-firma hukum di Indonesia (ilustrasi). Foto: RES.
Suasana ajang penghargaan firma-firma hukum di Indonesia (ilustrasi). Foto: RES.

Pengajar Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Yetty Komalasari Dewi mengatakan bahwa kantor-kantor hukum yang berbentuk firma tidak bisa melakukan merger dengan firma lainnya.

“Mereka itu (firma-firma,-red) kan bukan badan hukum, kalau bukan badan hukum kan nggak ada merger,” ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon, Jumat (10/4).

Yetty menjelaskan karena firma bukan badan hukum, maka penggabungan antara dua firma bisa dilakukan dengan cara melakukan perjanjian, bukan dengan cara merger. “Firma itu atau persekutuan perdata pada intinya kan perjanjian. Perjanjian jadinya kalau semua sekutunya setuju kan, jadi itu esensinya,” ujarnya.

Esensi penggabungan, lanjut Yetty, adalah memasukan sekutu baru dalam suatu persekutuan. Jadi, ketika persekutuan didirikan maka lihat terlebih dahulu apakah diatur mengenai kemungkinan mengenai masuk atau keluarnya sekutu. “Bisa saja itu diatur dalam perjanjian pendirian atau tidak diatur,” ujarnya.

“Kalau tidak diatur jadi KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,-red) yang berlaku. KUHD bilang kalau masuknya sekutu baru kalau tidak diperjanjikan esensinya mengubah persekutuan. Kalau itu harus dibubarkan terlebih dahulu baru dibentuk persekutuan baru,” jelasnya.

Yetty mengatakan penggabungan antara firma bisa saja terjadi. Namun, penggabungan itu bukan merger yang dikenal selama ini UU Perseroan Terbatas.

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Kerja Sama Internasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Ricardo Simanjuntak mengatakan bahwa merger antara firma hukum memang belum memiliki aturan yang spesifik. Selama ini, merger hanya diatur dalam UU Perseroan Terbatas.

Ricardo menjelaskan ada perbedaan konsep mendasar antara PT dan firma. Bila ada kerugian pada PT maka tanggung jawab hanya sebatas pada harta yang ada di PT, sedangkan bila firma mengalami kerugian atau utang maka tanggung jawab bisa dimintakan hingga ke pribadi para pendiri firma.

“Kalau firma, terhadap hak dan kewajibannya itu adalah melekat kepada sleuruh firmannya. Orang-orag pendiri firma itu disebut firman. Jadi, kalau misalnya ada keuntungan, ya itu keuntungan firman tersebut. Kalau rugi, kerugian itu akan dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh masing-masing firman,” ujarnya.

Meski tidak ada aturan spesifik, Ricardo juga berpendapat bahwa firma bisa saja melakukan “merger”. Namun, merger di sini harus diartikan sebagai penggabungan. Bukan merger yang dimaksud di dalam UU PT. Aturan “merger” firma hukum ini bisa mengacu kepada KUHPerdata.

“Sebenarnya nggak ada masalah firma merger. Jadi, misalnya firma hukum saya merger dengan firma hukum yang lain, maka akan jadi penambahan anggota firman. Lalu kemudian, kalau dia merger, meeka akan menyatukan administrasi dan juga akan menyatukan NPWP mereka,” jelasnya.

Sebagai informasi, Hukumonline bekerja sama dengan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) akan kembali menggelar diskusi “Tea Talk With Lawyers”. Diskusi kali ini akan mengangkat tema “Merger Antar Lawfirm di Indonesia, Mungkinkah” pada Jumat (10/4) di Kantor Hukumonline.

Klarifikasi
Atas pemberitaan ini, Yetty Komalasari Dewi menyampaikan klarifikasi atas isi berita yang dianggapnya tidak sesuai dengan pernyataannya. Berikut adalah klarifikasinya:

"Saya agak keberatan dengan isi berita tersebut karena tidak menggambarkan pernyataan saya yang sebenarnya. Ada beberapa hal yang terpotong atau tidak lengkap. Saya sampaikan jika dalam arti merger yang mengacu pada merger di PT ya tidak bisa diterapkan ke firma, karena firma itu bukan badan hukum dan tidak aturan tentang merger dalam KUHD/KUHPer. Tapi boleh atau tidak. Ya boleh saja sepanjang semua sekutu menyetujuinya. Kan esensinya firma atau persekutuan itu perjanjian. Jadi, tidak betul kalau saya menyatakan firma tidak bisa atau tidak boleh "merger". Iya, bukan merger yang mengacu kepada definisi PT. Tapi merger dalam arti umum bergabungnya dua perusahaan atau firma atau persekutuan ya boleh dan sah-sah saja sepanjang semua atau sebagian besar sekutu menyetujuinya (tergantung dari masing-masing akta pendirian/AD di perusahaan/persekutuan tersebut). Jika dalam akte pendirian/AD tidak ada aturan tentang merger, maka harus disetujui oleh semua sekutu. Itu esensinya persekutuan sebagai perjanjian. Selain itu, esensi merger atau penggabungan dalam firma bukan hanya masuknya sekutu baru tapi bisa juga keluarnya sekutu. Tolong diluruskan."

Tags:

Berita Terkait