Akademisi: Arief Hidayat Mundurlah untuk Lebih Arif
Berita

Akademisi: Arief Hidayat Mundurlah untuk Lebih Arif

​​​​​​​Sebagai seorang hakim yang memiliki jabatan mulia apalagi Arief juga merupakan seorang guru besar, seharusnya moral, etika dan hukum yang dimiliki tidak bisa dipisahkan dalam dirinya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Desakan akademisi agar Arief Hidayat mundur sebagai ketua maupun hakim MK. Foto: AID
Desakan akademisi agar Arief Hidayat mundur sebagai ketua maupun hakim MK. Foto: AID

Desakan agar Arief Hidayat mundur dari jabatan ketua maupun hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menguat. Kali ini desakan diutarakan oleh Forum Akademisi Selamatkan MK. Permintaan ini menambah panjang deret desakan mundur kepada Arief Hidayat. Setelah sebelumnya 54 guru besar yang belakangan bertambah jumlahnya menjadi 75 orang, meminta Arief mundur dari MK.

 

(Baca juga: 54 Profesor Ini Mendesak Arief Mundur dari Jabatannya)

 

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menilai, pilihan mundur merupakan cara untuk menyelamatkan MK secara institusi. Ia berharap, Arief sadar dan segera mengundurkan diri dari jabatannya. Sehingga, marwah MK tetap terjaga.

 

“Arief Hidayat Mundurlah untuk lebih Arif. Pilihan mundur, bisa menyelamatkan MK. Satu sisi dari ketidakpercayaan publik, pada saat yang sama bisa menjaga moral publik. Jika Arief mengatakan tidak akan mundur karena tekanan, tetapi mungkin ia lupa mengenai filosofi hukum bahwa etika ialah di atas hukum itu sendiri," kata Zainal di Jakarta, Selasa (14/2).

 

Zainal juga menyoroti delapan hakim Mahkamah Konstitusi yang menunjuk Arief secara aklamasi sebagai ketua. Menurutnya, ketika terdapat pegawai MK yang ingin mengembalikan marwah lembaga dengan melakukan perlawanan, maka seharusnya kedelapan hakim tersebut dapat bertanggung jawab dengan mengambil sikap.

 

“Harusnya ada kesadaran etika di MK yang tidak disadari oleh delapan hakim di MK. Kalau ada kesalahan karena dulunya menunjuk Arief secara aklamasi menjadi ketua MK. Maka, delapan MK ini seharusnya tidak diam saja dan mengambil sikap," ujarnya.

 

Sebagai seorang Negarawan, lanjut Zainal, ketua MK semestinya tidak bermasalah secara etik. Apalagi dalam Undang-undang MK, pemilihan Ketua semestinya memenuhi syarat-syarat seperti objektif, transparan, dan akuntabel. Di sisi lain, sebagai pengusung, DPR juga mesti memilih hakim MK yang sesuai dipersyaratkan dalam UU.

 

Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Sigit Riyanto mengatakan mengapa akademisi dari kalangan intelektual mengawal persoalan ini. Hal ini dikarenakan mereka mendapatkan amanah sebagai seorang pendidik untuk mengawal perbuatan yang tidak sesuai dengan etika. “Memang tidak ada kepentingan yang sifatnya internal, namun ini didasari atas kejernihan berpikir para akademisi,” kata dia.

 

Ia pun menambahkan jabatan yang diemban Arief Hidayat merupakan profesi yang sangat tinggi kedudukannya namun telah melanggar etik dua kali. “Untuk itulah atas dasar penalaran objektif, ketulusan hati tanpa ada kepentingan politik para akademisi dan professor mengambil langkah ini. Sebab pelanggarannya merupakan perbuatan misconduct,” ujarnya.

 

Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof. Ana Erliyana mengatakan, sebagai seorang hakim yang memiliki jabatan mulia apalagi Arief juga merupakan seorang guru besar, seharusnya moral, etika dan hukum yang dimiliki tidak bisa dipisahkan dalam dirinya. “Sebagai ahli administrasi negara jelas pelanggaran yang dilakukan Arief ialah pelanggaran wewenang,” katanya.

 

Baca:

 

Pernyataan 3 Guru Besar

Dalam kesempatan tersebut, juga diungkapkan keterangan tertulis dari tiga guru besar. Berikut pernyataan singkat dari tiga guru besar hukum dari berbagai kampus terkait persoalan ini. Pertama, Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Saparinah. Ia menyatakan, “saudara Arief Hidayat, saya tidak kenal secara pribadi tetapi saya tahu bahwa saudara telah mau dipilih dan menerima untuk menjadi ketua MK. Ini berarti saudara telah bersedia bertanggung jawab menegakkan nilai-nilai keadilan sosial dan kesejahteraan. Perilaku saudara jauh dari pemenuhan nilai-nilai tersebut. Karenanya bersedialah mengundurkan diri dari jabatan sebagai ketua MK adalah pilihan tepat.”

 

Pernyataan lainnya dating dari Prof. Toeti Herty Noerhadi Roosseno, guru besar UI. Menurutnya, MK terancam Kredibilitas hukum dan etika. Hukum bila dilanggar harus ada sanksi, etika bila dilanggar sanksinya maka lenyapnya trust. Padahal, etika lebih mendasar dari pada hukum, menjaga nilai-nilai kehidupan. Hilangnya kepercayaan pada MK bencana total jangka panjang, masyarakat mengalami anomi dan distorsi nilai-nilai dan merongrong peradaban bangsa.

 

Pada kesempatan itu ia juga mengatakan perlu ditelusuri kepentingan agenda tersembunyi yang menumpang pada legitimasi negara, kepentingan yang mengatasnamakan negara, memperoleh legitimasi dan sekaligus memperkuat ketakberdayaan negara yang menunjukkan vacuum moral eksistensial.

 

Sedangkan Prof. Azyumardi Azra, guru besar dari UIN Syarif Hidayatullah menambahkan, MK adalah benteng konstitusi yang mutlak bagi penjaga eksistensi NKRI. Karena itu, MK harus dijaga harkat, martabat dan kredibilitasnya. Perilaku tidak etik di kalangan hakim. Apalagi ketua MK tidak hanya dapat meruntuhkan kepercayaan publik, tapi juga bisa menghasilkan keputusan MK yang partisan, yang tidak menguntungkan kehidupan bernegara berbangsa.

Tags:

Berita Terkait