Ajukan PK, Urip Tri Gunawan Ungkap Tiga Novum
Berita

Ajukan PK, Urip Tri Gunawan Ungkap Tiga Novum

Urip menganggap jaksa KPK tidak memiliki kewenangan eksekutorial.

NOV
Bacaan 2 Menit
Urip Tri Gunawan saat menyampaikan permohonan PK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/9). Foto: RES
Urip Tri Gunawan saat menyampaikan permohonan PK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/9). Foto: RES

Mantan jaksa Urip Tri Gunawan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung No.243K/PID.SUS/2009 tanggal 11 Maret 2009 yang menghukumnya selama 20 tahun penjara. Terpidana kasus suap ini menjadikan novum (bukti baru), pertentangan putusan, dan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagai alasan pengajuan PK. 

Urip mengungkapkan, ada tiga novum. Pertama, adanya penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dilakukan KPK. “Objek hukum penyelidikan KPK ini serupa dengan penyelidikan yang dahulu dilakukan pemohon PK di Kejaksaan Agung,” katanya saat membacakan memori PK di Pengadilan Tipikor Jakara, Kamis (18/9).

Ia menjelaskan, setiap tindak pidana pasti mengandung sifat “melawan hukum”. Sesuai putusan kasasi, Urip dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf b dan e UU Tipikor. Urip terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani, serta memeras Glen Yusuf dan Reno Iskandarsyah.

Rumusan Pasal 12 huruf b sendiri berisi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Apabila mengacu rumusan pasal itu, terdapat frasa “melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”. Menurut Urip, ketika melakukan penyelidikan kasus BLBI di Kejagung pada 2008, ternyata KPK juga melakukan penyelidikan atau supervisi dengan objek serupa.

Setelah Kejagung dan KPK menggelar ekspos bersama pada 22 Oktober 2008, Ketua KPK Antasari Azhar membentuk empat tim yang ditugaskan mendalami dan mengkaji perkara BLBI. Dalam rekomendasinya, tim KPK menyatakan tidak menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan perkara BLBI ke penyidikan.

Berselang enam tahun kemudian, KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad kembali membentuk tim penyelidik yang ditugaskan melakukan pengusutan terhadap Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam kasus BLBI. KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah mantan menteri, diantaranya Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.

Hal ini, lanjut Urip, membuktikan bahwa objek penyelidikan yang tengah dilakukan KPK serupa dengan objek penyelidikan yang dahulu dilakukan Urip, yaitu antara lain obligor Syamsul Nursalim. Kemudian, hingga kini, KPK tidak pernah menyatakan penyelidikan yang dahulu dilakukan Kejagung ditemukan bukti penyimpangan.

Dengan demikian, Urip menganggap unsur “bertentangan dengan kewajibannya” dalam rumusan Pasal 12 huruf b tidak terpenuhi. “Berdasarkan novum itu pula, terdapat cukup alasan bahwa pemohon PK dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa penyelidik BLBI telah melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai jabatannya,” ujarnya.

Novum kedua adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 tentang uji materi ketentuan Pasal 197 ayat (1) jo ayat (2) huruf KUHAP. Urip menerangkan, putusan MK itu pada intinya menyatakan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Jadi, dengan kata lain, MK menyatakan putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan perintah untuk ditahan tidak batal demi hukum. Mengacu pada putusan MK tersebut, berpendapat, putusan pemidanaan yang diterbitkan sebelum adanya putusan MK, tetap berlaku ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP.

Putusan kasasi Urip merupakan salah satu putusan yang diterbitkan sebelum putusan MK. Dalam putusan kasasi Urip, majelis hakim agung yang diketuai Artidjo Alkostar tidak mencantumkan “perintah supaya ditahan atau tetap ditahan”. Oleh karena itu, Urip menilai putusannya batal demi hukum dan tidak dapat dieksekusi.

Adapun novum ketiga mengenai penuntut umum KPK yang ternyata tidak memilki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Sesuai Pasal 3 UU No.30 tahun 2002 tentang KPK, KPK adalah lembaga pemberantasan korupsi yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Konsekuensi logis dari kedudukan ini menjadikan pimpinan dan pegawai KPK tidak lagi memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, maupun hak dalam kedudukan, jabatan, maupun profesi lama mereka. Begitu pula penuntut yang menjadi pegawai KPK. Penuntut umum KPK tidak lagi terikat pada UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Penuntut umum KPK memiliki tugas, kewenangan, kewajiban, dan hak dalam kedudukan baru sebagaiaimana UU KPK. Penuntut umum KPK tidak bisa lagi disebut sebagai jaksa sebagaimana dimaksud dalam UU Kejaksaan, tetapi disebut sebagai pegawai KPK yang diberikan tugas dan wewenang selaku penuntut umum oleh undang-undang.

Urip menerangkan, kewenangan yang diberikan undang-undang kepada pegawai KPK selaku penuntut umum tidak termasuk kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. “Pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap menjadi kewenangan jaksa pada kejaksaan,” tuturnya.

Ketikidakterikatan jaksa KPK pada UU Kejaksaan ini juga sempat ditegaskan dalam putusan perkara pembunuhan yang dilakukan Antasari Azhar. Ketika itu, Antasari berpendapat proses penanganan perkaranya mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan tidak sah dan batal demi hukum.

Pasalnya, proses penanganan perkara Antasari yang masih berstatus jaksa aktif dilakukan tanpa adanya izin dari Jaksa Agung sebagaimana ketentuan UU Kejaksaan. Namun, pengadilan tingkat pertama sampai kasasi menyatakan, walau masih berstatus jaksa aktif, Antasari bukan lah jaksa yang tunduk pada UU Kejaksaan.

MA menganggap, Antasari selaku pimpinan KPK secara kepegawaian tidak lagi terikat dengan jabatan atau profesinya sebelum menjadi Ketua KPK. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 29 huruf i dan j UU KPK, yaitu untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya.

Berdasarkan ketentuan dan yurisprudensi itu, Urip menegaskan, jaksa yang diperbantukan menjadi pegawai KPK sebagai penuntut umum, tidak memiliki kewenangan eksekutorial atau melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap. “Sehingga, eksekusi selama ini tidak sah dan akibatnya eksekusi batal demi hukum,” ucapnya.

Selain tiga novum tersebut, Urip menjadikan pertentangan putusan, serta kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sebagai alasan untuk pengajuan PK. Dalam petitumnya, Urip meminta majelis PK mengabulkan seluruh permohonannya, menyatakan ia tidak terbukti bersalah, dan membebaskannya dari segala dakwaan.

Menanggapi memori PK Urip, penuntut umum Rini Triningsih meminta waktu satu minggu kepada majelis hakim yang diketuai Supriyono untuk menyusun kontra memori PK. Namun, Rini bersikukuh jaksa KPK memiliki kewenangan untuk mengeksekusi putusan. “Jelas ada. Nanti kami sampaikan minggu depan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait