AJI: Polisi Musuh Utama Pers Sepanjang 2015
Berita

AJI: Polisi Musuh Utama Pers Sepanjang 2015

Penanganan kasus pemberitaan harus mengacu UU Pers.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: RES
Foto ilustrasi: RES
Sepanjang tahun 2015, kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media cukup banyak, mencapai 46 kasus. Jumlah ini mengalami peningkatan sekitar 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Ironisnya, menurut catatan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), pelaku kekerasan paling banyak adalah oknum kepolisian.

“Dari catatan kami, sepanjang 2015 polisi menjadi musuh utama kebebasan pers. Sebab, sekitar 30% pelaku kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang tahun 2015 lalu adalah oknum kepolisian. Sisanya, hampir 20% oleh orang tidak dikenal dan 9% oleh oknum TNI,” ujar Ketua AJI Suwarjono di Jakarta, Rabu (27/7).

Lebih lanjut, Suwarjono mengatakan kebanyakan kasus kekerasan yang dialami oleh awak media terjadi saat melakukan liputan lapangan. Bentuk kekerasan yang dilakukan pun beragam. Paling banyak, menurut catatan AJI berupa kekerasan fisik seperti pemukulan. Jumlahnya, hampir 40% dari keseluruhan kasus kekerasan tersebut.

Selanjutnya, ancaman teror menjadi bentuk kekerasan yang juga cukup sering dialami awak media, yakni lebih dari 15%. Perusakan alat dan sensor sama-sama 8%. Sementara itu, jumlah kasus pengusiran dan mobilisasi massa cukup jarang terjadi. (Baca Juga: Ini Pekerjaan Rumah Komisioner KPI Terpilih)

Selain kekerasan, kebebasan pers juga masih menghadapi ancaman berupa pemidanaan. Suwarjono mengungkapkan, setidaknya ada dua kasus hukum yang dialami oleh jurnalis sepanjang tahun lalu. Keduanya dilaporkan kepada pihak kepolisian dan langsung ditetapkan tersangka, tanpa melalui mekanisme keberatan yang diatur di dalam UU Pers.

“Tidak ada hak jawab dan koreksi sebelum berproses melalui jalur hukum. Tiba-tiba saja langsung ditetapkan menjadi tersangka,” ujar Suwarjono.

Kasus pertama adalah yang dialami oleh jurnalis koran nasional berbahasa Inggris. Jurnalis tersebut dilaporkan oleh anggota masyarakat terkait dengan karikaturnya yang terkait dengan ISIS. Jurnalis itu dituding melakukan pelanggaran UU No.1/PNPS Tahun 1961 tentang Penistaan Agama. (Baca Juga: Kontributor Media Minim Perlindungan, Ini Penyebabnya)

“Terkait kasus ini kami sudah melakukan advokasi agar polisi segera menerbitkan SP3. Sebab sampai saat ini masih tahap penyidikan, dan prosesnya tidak berkembang. Kami menegaskan bahwa tidak ada cukup alasan untuk prosesnya dilanjutkan,” tandasnya.

Kasus kedua terjadi di Aceh terhadap sebuah portal berita lokal. Jurnalis yang menulis artikel mengenai bisnis keluarga Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Pengacara sang gbernur melaporkan jurnalis itu kepada kepolisian dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Than 2008 terkait pencemaran nama baik.

Uniknya, menurut Suwarjono pihak gubernur seperti sengaja mencari celah ancaman hukuman yang lebih besar. Sebab, artikel yang sama pada awalnya beredar dalam terbitan berbentuk majalah. Namun, pihak gubernur tidak melakukan respon apapun. Kemudian, pada saat tulisan yang sama terbit dalam versi digital, barulah laporan polisi disampaikan.

“Jadi seperti menunggu-nunggu versi digitalnya. Sebab, untuk terbitan majalah kan diatur dalam KUHP dengan ancaman yang lebih ringan. Dibandingkan, versi digital diatur dalam UU ITE yang ancamannya lebih berat,” tandasnya.

Swarjono pun menjelaskan, seharusnya aparat penegak hukum memahami bahwa kasus-kasus yang terkait dengan pemberitaan harus merujuk pada UU Pers. Sebab, ia mengingatkan, ketentuan mengenai hal itu diatur secara khusus (lex specialis) dalam UU Pers. Ia pun mengapresiasi beberapa pengadilan negeri telah memahami hal ini dengan memberi putusan sela agar penyelesaian kasus dilakukan melalui mekanisme Dewan Pers.

Namun, ia mengakui bahwa masih banyak aparat penegak hukum yang belum mengacu pada UU Pers jika menangani perkara pemberitaan. Oleh karena itu, ia menuturkan pihaknya aktif melakukan penyadaran. AJI antara lain telah menerbitkan pedoman untuk aparat penegak hukum seperti hakim dan jaksa.

“Selama kasusnya terkait pemberitaan, bukan masalah personal jurnalisnya ya harus mengikuti mekanisme UU Pers. Tetapi kita harus tetap optimis melakukan literasi mengenai hal ini,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait