Pada persidangan ke-16 yang berlangsung Rabu (29/3), Ahok dan pengacaranya berniat menghadirkan dua lagi ahli pidana. Salah satunya mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Mochamad Hatta, dan dosen pidana dari Universitas Udayana Bali, I Gusti Ketut Ariawan. Nama Hatta masih tercatat sebagai hakim Pengadilan Tinggi Jakarta pada 2014 lalu. Salah satu perkara yang pernah ditangani Hatta adalah kasus penggelapan dalam jabatan sebagaimana diputus dalam perkara No. 57/Pid/2014/PT.DKI.
Selain ahli hukum, Ahok berencana menghadirkan ahli dengan latar belakang keilmuan beragam. Misalnya, ahli psikologi sosial Risa Permana Deli, ahli bahasa dan guru besar Universitas Katholik Atmajaya Jakarta Bambang Kaswati Purwo. Bambang adalah penulis buku Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Kedua nama terakhir ini sudah diperiksa polisi dalam proses penyidikan.
Dari kalangan ahli agama Ahok berencana menghadirkan Wakil Ketua Mustasyar Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Hamka Haq, Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Masdar Farid Mas'udi, dan dosen tafsir al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sahiron Syamsuddin. Seperti biasa, sidang berlangsung di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, dan mendapat pengawalan ketat polisi.
Pada persidangan pekan lalu, ahli Djisman Samosir berpendapat apa yang diucapkan terdakwa Ahok pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu tidak memenuhi unsure penodaan agama sebagaimana dimaksud dalam dakwaan, baik Pasal 156a huruf a maupun Pasal 156 KUHP. (Baca juga: Surat Dakwaan Ahok Hanya 7 Halaman).
Djisman mengatakan untuk membuktikan niat seseorang haruslah dilihat sikap batin (mens rea) dan perbuatannya (actus reus). Keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan. Ahli berpendapat tidak ada niat Ahok untuk melakukan penodaan. Pandangan Djisman ini berbeda dari ahli pidana yang dihadirkan penuntut umum. Mudzakkir, ahli pidana dari UII Yogyakarta, memberi keterangan yang menguatkan surat dakwaan jaksa Ali Mukartono. (Baca juga: Ahli Pidana Ini ‘Perkuat’ Dakwaan Jaksa Terhadap Ahok).
Djisman juga berpendapat seseorang tidak dapat dipidana jika perbuatan yang dituduhkan kepadanya ternyata masih harus ditafsirkan lagi. Seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan/perkataannya, bukan tafsir orang lain atas perbuatan/perkataan itu.
Apa keterangan para ahli pada sidang ke-16 ini? Kita tunggu saja.