Ahli Sebut Wewenang Penyidikan OJK Aneh
Berita

Ahli Sebut Wewenang Penyidikan OJK Aneh

Wewenang penyidikan OJK berpotensi menimbulkan tumpang-tindih dengan lembaga penegak hukum lain.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang pleno pengujian UU di Gedung MK. Foto: Sgp
Ilustrasi sidang pleno pengujian UU di Gedung MK. Foto: Sgp

Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Nindyo Pramono menilai aturan kewenangan penyidikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diatur Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak memberi kepastian hukum. Sebab, dalam Pasal 6 KUHAP wewenang penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).   

 

“Hal ini justru akan memicu perebutan perkara antara penyidik Polri dan PPNS di OJK. Dalam konteks kewenangan ini, penyidik OJK bisa melakukan penyidikan terkait fungsinya sebagai pengawas jasa keuangan perbankan dan nonperbankan,” kata Nindyo saat memberi keterangan sebagai ahli dari Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian UU OJK di MK, Senin (18/2/2019). (Baca Juga: MK Diminta Cabut Wewenang Penyidikan OJK)

 

Nindyo menilai kewenangan penyidikan OJK aneh karena tidak sesuai dengan sistem hukum pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system). Fungsi kewenangan OJK seharusnya berada dalam ranah hukum administrasi negara dalam konteks pemeriksaan atau penyelidikan. “Kita dapat mencontoh kewenangan Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) yang diputus perkaranya oleh MK tahun 2016,” jelasnya.

 

Menurut Nindyo, lembaga sejenis OJK di negara lain tidak memiliki kewenangan penyidikan. Karennya, dirasa aneh jika OJK di Indonesia memiliki kewenangan tersebut. “Di Inggris, ada Financial Service Authority (OJK Inggris) yang memiliki kewenangan penyidikan, tetapi karena tak berjalan efektif akhirnya diberikan kembali ke Bank of England,” ujarnya mencontohkan.

 

Ahli Pemohon lainnya, Guru Besar Perbandingan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Ratno Lukito menilai model OJK seperti di Indonesia tidaklah lazim. Sebab, OJK menyatukan kewenangan pengawasan administratif dengan kewenangan penyidikan yang bersifat pro justicia.

 

Di negara lain, pengawas keuangan tidak mencampur dua kewenangan ini. Kewenangan penyidikan diserahkan pada penegak hukum reguler atau lembaga khusus yang memiliki kewenangan penyidikan. Selain itu, model OJK di Indonesia berpotensi menimbulkan tumpang-tindih (overlapping) antara OJK dengan lembaga penegak hukum seperti Polri,” katanya.

 

Permohonan ini diajukan sejumlah akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Surakarta, yakni Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitasari, Bintara Sura Priambada, Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan” dalam kedua pasal tersebut.

 

Pasal 1 angka 1 UU OJK menyebutkan, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

 

Dalam Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014, Pasal 1 angka 1 itu menjadi berbunyi, “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”

 

Pasal 9 huruf c UU OJK disebutkan, “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: .... (c) melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

 

Para Pemohon menilai kewenangan penyidikan PPNS OJK dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari proses pemanggilan, pemeriksaan, meminta keterangan, penggeledahan hingga pemblokiran rekening bank, apabila tidak sesuai dengan KUHAP dan tidak berkoordinasi dengan kepolisian.

 

Bagi Pemohon, original intent dibentuk OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan (supervisi) jasa keuangan perbankan dan nonperbankan, bukan menjalankan fungsi penegakkan hukum.  Selain itu, wewenang penyidikan OJK dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 9 huruf c jo Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU OJK terkait PPNS OJK dapat meminta bantuan penyidik Polri, overlapp dan inharmoni terhadap Pasal 7 ayat (1) KUHAP, dimana PPNS diberi wewenang tersendiri oleh UU. Seharusnya wewenang penyidikan OJK ini selalu di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri.

 

Karena itu, para pemohon meminta kepada Mahkamah menyatakan kata “penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan kata “penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, Pemohon minta wewenang penyidikan pada OJK dihapus atau dicabut, sehingga tidak memiliki kewenangan lagi untuk menyidik.   

Tags:

Berita Terkait