Ahli Sebut Pengelolaan BUMN Cenderung Kapitalis dan Liberalis
Berita

Ahli Sebut Pengelolaan BUMN Cenderung Kapitalis dan Liberalis

Bagi ahli perusahaan holding BUMN memberi peluang besar kepada pemerintah melakukan privatisasi BUMN di luar kontrol atau persetujuan publik (DPR).

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pengelolaan negara cq pemerintah terhadap BUMN cenderung bersifat kapitalis dan terseret/mengarah pada sistem ekonomi liberal. Ini sebagai akibat penyalahgunaan penerapan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mengisyaratkan BUMN mengutamakan mencari keuntungan.    

 

“Ini dapat diduga akibat penerapan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b UU BUMN yang disalahgunakan dan telah menyimpang dari substansi sistem ekonomi Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945, sehingga bersifat kapitalistik, liberalistik, dan berparadigma neo-liberalisme,” ujar pengajar hukum ekonomi Universitas Surakarta, Agus Trihatmoko saat memberi keterangan ahli pemohon di sidang uji UU BUMN di Gedung MK, Rabu (2/5/2018).

 

Selengkapnya, Pasal  2 ayat (1) huruf a dan b UU BUMN berbunyi “Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan;....”

 

Pasal 4 ayat (4) UU BUMN berbunyi “Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

 

Agus Trihatmoko menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a pada frasa “penerimaan negara pada khususnya…”, sesungguhnya negara memiliki orientasi mengekspolitasi ekonomi melalui peran BUMN yang bertentangan dengan sifat emansipasi, partisipasi setiap elemen pelaku ekonomi (dikhususkan pada masyarakat) dan asas kekeluargaan dan kebersamaan.

 

Selain itu, Pasal 2 ayat 1 huruf b pada frasa “mengejar keuntungan…”, BUMN lebih mengutamakan orientasi pada keuntungan atas pemodalam kapitalistik melalui kepemilikan bisnis kelompok usaha pemerintah. “Tentu hal ini bertentangan sifat yang berorientasi pada kepemilikan public (rakyat),” sebutnya.

 

Menurutnya, pemerintah menjadi kelompok penguasa bisnis BUMN sebagai sebuah sistem kapitalisme tanpa partisipasi masyarakat sebagai tumpuan ekonomi yang berdaulat pada rakyat. “Mengejar keuntungan dipusatkan pada keuangan pemerintah sendiri (APBN), bukan kepentingan bersama,” lanjutnya.

 

Diterangkan Agus, UU BUMN telah mendorong secara subjektif keuntungan dan investasi pada beberapa rezim pemerintahan untuk memberi perizinan atau penyerahan tata kelola aset negara (sumber daya alam/SDA) pada kelompok kapitalis swasta dan asing.

 

Dalam penelitiannya, tahun 2018 berjudul “The Concept of Indonesia Raya Incorporated Conforms The Constitution of Economics” menunjukkan telah terjadi kesenjangan kepemilikan aset negara antara BUMN, BUMD dengan swasta. “Hal ini terjadi akibat liberalisasi tata kelola SDA di Indonesia yang menunjukkan angka kemiskinan di wilayah kekuasaan bisnis kelompok kapitalis,” kata dia.

 

Baginya, korupsi terbesar bukan hanya masalah tertangkap tangan oknum yang merampas  uang APBN atau suap, tetapi hilangnya aset negara (SDA) oleh oknum yang memberi perizinan kepada pihak kapitalis swasta. “Untuk itu, subjektivitas keuntungan dan investasi pengelolaan SDA pemerintah pusat dan daerah menyerahkan eksploitasi SDA kepada kapitalis swasta, bukan pada kedaulatan ekonomi rakyat,” tegasnya.

 

“Seharusnya seluruh masyarakat saat ini dapat memiliki saham di BUMN demi kedaulatan ekonomi rakyat.”

 

Menurutnya, kebijakan holdingnisasi BUMN yakni beralihnya saham pemerintah di BUMN ke anak perusahaan holding sangat subjektif dalam upaya pengelolaan privatisasi BUMN. Sebab, perusahaan BUMN yang dilepas sahamnya oleh pemerintah kepada perusahaan BUMN lain mengakibatkan kerugian langsung kepada negara. Diantaranya, kehilangan economic gain secara langsung karena value of asset berpindah ke sebuah holding, kehilangan hak langsung atas deviden sebuah perusahaan holding.

 

“Untuk itu, perusahaan holding BUMN memberi peluang besar kepada pemerintah melakukan privatisasi BUMN di luar kontrol atau persetujuan publik (DPR),” katanya. (Baca juga: Ahli Sebut Peran BUMN Cenderung Eksploitatif)

 

Sebelumnya, Albertus Magnus Putut Prabantoro dkk selaku Pemohon mendalilkan kedua pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Pemohon menyatakan keberadaan pasal-pasal tersebut telah diselewengkan secara normatif dan menyebabkan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Persero.

 

Dalam PP yang juga dikenal dengan PP Holding BUMN Tambang tersebut, terdapat tiga BUMN yang dialihkan sahamnya kepada PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum). Adapun tiga BUMN yang dimaksud yakni Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, serta Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk.

 

Pemohon juga menilai implementasi dari Pasal 4 ayat (4) UU BUMN tersebut juga telah menunjukkan akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain, sehingga BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya. Melalui ketentuan ini telah menghilangkan peran BUMN yang sesungguhnya dan dapat dikategorikan sebagai privatisasi model baru karena adanya transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR. (Baca juga: Kembali Mempersoalkan Peran Negara dalam UU BUMN)

Tags:

Berita Terkait